Chapt. 14

1.7K 183 5
                                    

Alexa benar-benar ketakutan. Dia tidak bisa merasakan ataupun menemukan keberadaan Kevin saat ini seolah semua orang sedang meninggalkannya. Alexa berhenti melangkah, kemudian bersender di dinding koridor yang dingin seperti batu es. Punggungnya merosot perlahan ke bawah hingga bokongnya menyentuh lantai.

Bekas darah yang terdapat di punggung tangan kirinya pun sudah mulai mengering. Jantungnya berdegup tak karuan. Merasakan rasa sakit di benak maupun fisik. Alexa terpejam untuk menahan isakan tangis. Dimana semua orang di saat dirinya sedang membutuhkan?

Alexa merasa semua ini tidaklah benar. Itu sebabnya sejak pertama kali gadis itu melihat bangunan ini, Alexa seperti tidak asing. Alexa pernah melihat semua kengerian ini di dalam mimpi buruknya.

Alexa merapatkan kedua tungkainya ke dada. Perlahan-lahan Alexa menundukkan kepala dan meletakkannya ke atas lutut. Alexa memeluk erat kedua kakinya yang ia tekuk sembari berusaha menahan isakan tangis. Dadanya terasa sesak tak kala di selimuti oleh rasa putus asa yang semakin besar. Jika seperti ini, Alexa lebih baik mati daripada harus merasakan sesuatu yang buruk terus terjadi dalam kehidupannya.

Sedetik kemudian, kesunyian yang tadi hinggap di sekeliling Alexa mendadak menghilang dan tergantikan oleh alunan musik merdu khas sebuah pesta dansa. Gumaman samar orang-orang yang sedang berbincang ria memenuhi ruangan. Alexa mengernyit. Aroma kayu manis yang bercampur dengan harum parfum berkelas memenuhi tempatnya saat ini berada. Perlahan-lahan Alexa mengangkat wajahnya untuk menatap sekitar.

Sungguh pemandangan yang mengejutkan. Lorong-lorong gelap nan mencekam yang di penuhi oleh orang-orang menundukkan kepala itu berubah drastis dalam sekejap menjadi sebuah aula pesta berkelas seperti di dalam kerajaan. Lampu-lampu kandelir yang besar dan bercahaya kuning keemasan menghiasi langit-langit aula yang menyerupai kubah raksasa. Ornamen-ornamen zaman viktoria juga tak luput menghiasi dinding-dinding aula tersebut. Lantainya pun berbeda dari lantai lorong sekolah tempat sebelumnya Alexa berada.

Alexa menyipitkan kedua matanya. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati begitu banyak orang asing berpakaian sopan juga bergaya penuh fesyen berkelas. Para wanita dari muda hingga paruh baya terlihat menggunakan berbagai macam gaun pesta. Sementara para pria menggunakan tuxedo berwarna hitam dengan warna dasi kupu-kupu yang bermacam-macam.

Alexa mengusap air matanya dengan cepat, kemudian berdiri sembari berusaha mencerna situasi dan keadaan yang mendadak berubah drastis. Alexa menelan salivanya susah payah, dia yakin saat ini wajahnya pasti pucat pasi. Alexa mencubit lengannya sendiri sekeras mungkin hingga ia meringis kesakitan. Dan ternyata itu bukan mimpi. Ini nyata. Apa mungkin Kevin yang melakukan semua ini untuk menyelamatkannya seperti yang telah ia janjikan?

Tepat setelah itu, terdengar bunyi tepukan tangan sebanyak tiga kali. Kemudian, para wanita dan pria mencari pasangan mereka untuk berkumpul di lantai dansa. Tidak memerlukan waktu lama, alat musik piano pun mulai mengalunkan nada-nada lembutnya. Menciptakan suasana romantis dan berkelas secara bersamaan. Beriringan dengan alunan musik lembut, para pasangan memulai gerakan dansa mereka secara serentak dan kompak.

Alexa tak bisa berhenti melepas pandangan dari wajah-wajah mereka yang tak ia kenali. Sangat asing. Semuanya begitu asing. Jika ini bukan mimpinya, lalu siapa yang menariknya ke dalam mimpi seindah ini?

Saat para pasangan itu berdansa, tak sengaja mereka membentuk sebuah celah yang memperlihatkan punggung sosok berpostur tubuh agak kurus dengan rambut pirangnya yang di kucir berdiri membelakangi Alexa di seberang sana. Seketika itu pula senyuman Alexa mengembang. Gadis itu tahu benar lelaki yang biasa bergaya rambut seperti itu.

All BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang