Chapt. 27

1.1K 112 0
                                    

Di alam mimpi, semua terasa sangat lambat. Satu jam bisa seperti satu tahun lamanya. Apalagi satu hari. Alexa benar-benar gila berada di mimpi terlalu lama. Karena, sebelumnya ia tak pernah lama seperti ini dan tak pernah pula di sakiti sesakit ini dalam mimpi.

Entah apa yang sedang Kevin lakukan di luar sana. Yang jelas Alexa tak bisa merasakan keberadaan Kevin sedikitpun seolah Sorensen memblokir semua jalan keluar untuk mengakhiri mimpi ini.

Sorensen bahkan dapat dengan mudahnya mengatur latar tempat mimpi tersebut. Yang tadinya Alexa terbaring di atas tumpukan salju, dalam sedetik semuanya berubah memasuki musim gugur. Alexa terduduk di atas batu besar, tetapi keadaannya masih sama. Tetap terperangkap dalam lilitan sulur merah darah yang menyakitkan.

Meskipun Alexa bisa mencium aroma khas musim gugur, gadis itu tetap tak bisa mengalihkan rasa sakitnya. Sorensen berdiri tepat di hadapannya. Menatapnya dalam diam sementara Alexa tak kunjung menjawab pertanyaan yang di lontarkan kepadanya.

Sorensen menggunakan tuxedo berwarna serba hitam. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, tetapi tatapannya lurus ke depan--menatap wajah Alexa yang memucat.

"Sakit?"

Dengan santainya Sorensen bertanya hal bodoh seperti itu. Bagi Alexa, ia tak perlu menjawab pertanyaan seperti itu. Sorensen hanya mengejeknya.

Sorensen tersenyum. Ya tuhan. Alexa bergumam dalam hati memanggil Kevin saat melihat Sorensen mampu menirukan senyuman khas milik Kevin yang terasa hangat. Tetapi, Sorensen tetaplah Sorensen. Meski mereka kembar, namun tak ada yang mampu membedakan jati diri mereka.

"Sorensen, le-paskan. Aku."

Ujar Alexa pelan dan terbata-bata. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan untuk menetralisir rasa sesak dalam dadanya.

Sorensen menaikkan kedua alisnya. Ia mendekatkan wajahnya--sedikit membungkukkan badan dan menoleh ke samping untuk mendengar lebih jelas apa yang di katakan oleh Alexa.

"Apa kau bilang? Bisakah kau mengulanginya?" Tanya nya.

Alexa terpejam sesaat. Untuk berbicara pun ia kesulitan. "Lepaskan. Aku," ucapnya patah-patah.

Sorensen kembali berdiri tegak menatap Alexa. Dia mendengus pelan, "lepaskan dirimu? Tentu saja tidak akan ku lakukan sampai aku tahu di mana ragamu berada."

Alexa kembali meneteskan air mata, "bunuh saja aku sekarang."

Sorensen tertawa, "tidak ada guna nya bagiku. Membunuhmu adalah hal yang mudah untuk kulakukan. Tapi, sayangnya, aku membutuhkan ragamu dan juga jiwa mu yang rapuh ini."

Alexa menundukkan kepalanya, "kenapa? Untuk apa kau menyiksaku seperti ini..."

"Aku sudah lelah membunuhmu. Kau terus saja bereinkarnasi. Dan saudaraku yang bodoh juga terus melakukan hal yang sama, yaitu menyelamatkanmu," Sorensen berjalan memutari batu tempat Alexa duduk, "tapi, akan ku pastikan dia tak akan pernah bisa menyelamatkanmu lagi," Kata Sorensen sampai akhirnya berhenti tepat di hadapan Alexa lagi.

"Akan pastikan juga kau tidak akan pernah hidup dan bereinkarnasi lagi."

"Akhiri ini, Sorensen."

"Belum saatnya, sayang. Itu sebabnya aku bertanya padamu di mana letakmu saat ini berada? Biarkan aku menemukan raga mu."

Alexa terdiam untuk beberapa saat. Ia bergelut dengan pikirannya tentang apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia memberitahukan segalanya kepada Sorensen? Haruskah pula dirinya mengakhiri hidupnya?

Tapi, bayangan-bayangan wajah Luna, senyuman dan perlakuan lembut Dylan, Brian yang penuh dengan humor, kemudian Will yang untuk pertama kalinya Alexa bisa bertemu dengan lelaki berwajah keras sepertinya. Semua itu ia dapatkan ketika dirinya mengenal seseorang bernama Kevin meskipun belum terlalu lama dan dekat dengan mereka, akan tetapi Alexa yakin di kehidupan sebelumnya pasti ia sangat dekat dengan para sahabat Kevin. Lelaki tampan yang penuh akan pesona. Dalam waktu yang singkat, Alexa merasa dirinya tidak berjuang sendirian. Senyumnya mampu memberikan ketenangan kepada Alexa meski hanya sedetik.

All BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang