Chapt. 28

1K 125 0
                                    

Tidak ada yang bisa mengalahkan dingin dan lembabnya udara yang ada di gua keramat. Benar-benar menyesakkan dada bagi orang yang takut akan kegelapan. Terlebih lagi saat Kevin dan yang lainnya berdiri tepat di ambang pintu masuk gua keramat yang menganga lebar. Kegelapan di dalam sana begitu pekat. Angin yang membuat tubuh menggigil bertiup dari dalam sana seolah gua itu hidup dan bernafas--siap menelan siapa saja yang hendak memasukinya.

Dylan meneguk salivanya susah payah. Tatapannya tak berhenti menatapi bibir gua yang menganga sangat lebar. "Kalian yakin, kawan-kawan?" Ucapnya dan menggema begitu dalam.

Membuat Luna menyikut pinggang lelaki berparas parno itu. Luna meliriknya tajam dan meletakkan jari telunjuk ke bibir--mengisyaratkan Dylan agar menutup mulutnya dan usahakan jangan berbicara terlalu keras.

Kevin menghela nafas. Sendirinya pun dia agak bimbang. Kata hatinya mengatakan kalau dia harus segera cepat menemukan sang ibu agar tidak mengancam nyawa Alexa.

Brian menepuk pundak Kevin--membuat lelaki itu menoleh sekaligus menaikkan kedua alisnya.

"Apa kita hanya berdiri di sini semalaman atau... ?" Brian menunggu kepastian dengan mengucapkan kalimat penuh hati-hati.

Kevin berusaha untuk mengulas senyum tipis. Menurutnya Brian sedang berusaha menghibur dengan logat bicaranya yang lucu. "Ayo, kita masuk."

Mereka melangkah bersamaan memasuki kedalaman gua. Baru beberapa meter mereka berjalan, Will menemukan dua buah obor yang bertengger di dinding gua. Will pun memeriksa obor tersebut apakah terdapat tombol jebakan atau tidak, kemudian saat di rasa tidak ada jebakan, Will mengambil keduanya dan menjadikannya sebagai penerangan.

"Kau telaten sekali." Bisik Dylan tepat di telinga Will. Membuat lelaki berwajah datar itu melirik tajam ke arahnya, karena telinganya merasa geli.

Luna menghembuskan nafas sembari mengusap kedua lengan atasnya. "Semakin dalam suhunya semakin dingin," gumamnya. Terbukti, karena dari nafasnya pun mengeluarkan asap.

Kevin masih dalam posisi menggenggam tangan Alexa tanpa mau repot-repot melepaskannya. Kemudian, Will menyadari sesuatu yang mencurigakan dari arah belakang mereka. Will spontan berhenti berjalan mengikuti para sahabatnya dan malah terdiam mendengarkan suara misterius yang ada di belakang mereka tadi.

Will berbalik dan tidak mendapati adanya keberadaan makhluk lain. Will mengernyit. Tatapannya memicing tanda rasa kesal karena merasa di permainkan. Detik berikutnya terdengar bunyi lemparan batu kerikil tepat di dekat kaki kanannya.

"AGGGH!"

"TOLONG!"

"WILL!"

Will langsung berbalik dan mengejar para sahabatnya yang ternyata sudah hilang dari pandangan. Bodohnya lagi Will mendengar teriakan mereka dan mengapa ia tidak menyuruh mereka ikut berhenti bersamanya!

Will mengumpat dalam hati. Merasa bodoh, karena tertarik dengan hal mencurigakan yang ada mengikuti mereka tadi.

"Teman-teman!" Will berseru. Tak lagi mempedulikan keadaan yang mengharuskannya bersikap tenang.

Tidak terdengar suara apa pun. Kembali sunyi. Padahal tadi ia mendengar kegaduhan dari para sahabatnya disertai pekikan dan teriakan minta tolong dari mereka. Hanya saja sekarang benar-benar sunyi.

Will mengedarkan cahaya obor ke segala arah dan tidak menemukan apa-apa selain kegelapan di ujung sana. Namun, ketika Will mendongakkan kepalanya ke atas, ia melihat tubuh Alexa yang mengambang bebas tepat di atas kepalanya.

"Alexa!" Desis Will dan menarik pergelangan tangan gadis itu agar tidak terus mengambang di udara.

Alexa tertinggal di sini, tapi kemana yang lainnya pergi?

All BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang