Malam telah berlalu. Matahari mulai memancarkan cahaya jingga nya yang terang-benderang di bagian bumi lain. Namun, tidak di daerah tempat sebuah rumah berukuran besar berdiri dengan gaya klasik. Lebih terlihat seperti sebuah institut. Sangat-sangat besar dan sedikit kusam berwarn cokelat tua dengan pilar-pilar raksasa menghiasi setiap sudut beranda bangunan tersebut.
Tidak ada jendela yang terbuka di pagi hari. Langit kelabu tak memancarkan cahaya matahari sepenuhnya, karena sedang menurunkan butiran-butiran lembut air hujan. Suara deburan ombak mendominasi lingkungan sekitar bangunan tersebut. Benturan ombak kuat ke bebatuan yang menimbulkan suara menenangkan.
Di salah satu jendela terbuka dan berada di bagian belakang, seorang lelaki bergaris wajah tegas sedang berdiri menghadap ke arah lautan. Angin lembut menerpa wajahnya sekaligus menerbangkan beberapa helai rambut pirang miliknya. Iris matanya yang setajam elang itu memandang lurus ke depan. Tidak terlihat wajah penuh humoris khasnya. Telinganya menikmati suara deburan ombak sekaligus menghirup aroma lautan.
Lelaki itu tak merasa kedinginan ataupun menggigil karena terkena tiupan angin. Butiran hujan pun terlihat tak menyentuh kulit putih bersihnya. Sungguh sebuah keunikan tersendiri yang di miliki oleh Kevin.
Nafasnya sudah bisa sedikit tenang. Ritme jantungnya pun terasa lebih damai ketika tahu kalau dia belum terlambat untuk menyelamatkan gadis tercintanya--Alexa.
Tiga jam yang lalu dirinya hampir saja terlambat menyelamatkan Alexa. Nyaris kehilangan gadis tercintanya hanya karena kekejaman dan ambisi saudara nya untuk membunuh Alexa.
Ini pertama kalinya Kevin berhasil menyelamatkan Alexa dari kematian yang di berikan oleh Sorensen. Di kehidupan sebelumnya, Kevin tak pernah sampai sejauh ini. Lelaki beriris biru itu selalu terlambat menyelamatkan Alexa dalam keadaan apa pun.
Tak di sangka-sangka Sorensen berhasil menipunya dengan menciptakan latar tempat berupa lahan Ordo Axe and Sword High School. Itu hanya kedok yang digunakan Sorensen untuk memancingnya kembali bertemu Alexa.
Keberuntungan sedang berpihak kepada Kevin juga Alexa. Lelaki itu tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berlari semakin jauh dan mempersiapkan segalanya.
Cepat atau lambat, Sorensen pasti menemukannya.
"Kevin, dia sudah sadar."
Kevin berbalik perlahan untuk menatap ke arah seorang gadis yang berdiri di ambang pintu kamar tidurnya. Gadis berambut panjang bergelombang yang tadinya pirang dengan sedikit sentuhan cat rambut berwarna pink kini menjelma menjadi hitam pekat. Kecantikan dan keramahannya terlihat sangat kontras dengan warna rambutnya.
"Apa dia baik-baik saja, Luna?" Kevin bertanya di saat Luna menuntunnya ke ruangan tempat dimana Alexa berada.
Luna mengangguk singkat. "Aku harap begitu. Tapi, kau harus melihat keanehan ini. Sepertinya Sorensen memasukkan sesuatu ke dalam tubuh Alexa. Semua itu terjadi jauh sebelum kita menariknya lewat portal."
Kevin mempercepat langkah kakinya untuk mencapai kamar tidur tempat Alexa terbaring.
Saat melangkah masuk, Kevin bisa melihat Alexa yang terbaring dalam balutan selimut yang menutupi hampir setengah tubuhnya. Kedua tangan gadis itu berada di sisi tubuhnya. Wajahnya pucat pasi seperti orang yang mengalami penyakit kekurangan darah.
Kevin duduk di tepi kasur, kemudian menyentuh tangan Alexa yang sangat dingin. "Kau bilang dia sudah sadar," ujar Kevin pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Alexa yang kedua matanya masih terutup rapat.
"Dia memang sudah sadar tadi. Dia memanggil namamu, Kevin."
Kevin melayangkan telapak tangannya dari kening hingga ke perut Alexa. Dan benar saja dugaan Kevin, sebuah gumpalan berwarna merah tua bercampur hitam bercahaya terlihat dengan sangat jelas di dalam tubuh Alexa. Hanya beberapa saat, kemudian menghilang bertepatan ketika Kevin menjauhkan telapak tangannya.
Kevin terpejam, kedua alisnya saling bertaut. "Dia meracuni Alexa."
Luna menutup bibirnya menggunakan jemari tangan kanannnya. Kedua matanya terbelalak. "Apa yang harus kita lakukan? Mantra Sorensen sangatlah kuat," lirih Luna.
Kevin menghela nafas dan menggenggam tangan kanan Alexa. Kedua matanya hanya memandangi setiap inci wajah cantik Alexa. "Sorensen ingin membunuhnya secara perlahan."
Kevin mengecup kening Alexa, kemudian menatap Luna dengan tatapan sendu. "Aku harus menemukan ibuku."
~<>~
Sejak tadi pagi Kevin tidak meninggalkan kamar tidur Alexa dan selalu duduk di tepi kasurnya sembari memandangi wajah Alexa.
Secuil rasa bersalah kembali merasuk di dalam hatinya. Mengapa ia di takdirkan untuk mencintai gadis yang sebenarnya tidak bersalah?
Kutukan ada pada Alexa. Tapi, Kevin tak tahu mengapa Alexa harus di kutuk, karena mencintai Kevin.
"Maaf..." Kevin berbisik lemah sembari menundukkan kepalanya, "seharusnya tidak seperti ini. Aku berjanji akan mencari bagaimana cara nya mematahkan kutukan ini, Alexa. Apa pun akan ku lakukan untuk bisa menyelamatkanmu."
Di saat Kevin larut dalam kesedihan, terdengar suara erangan pelan yang berasal dari Alexa.
Dengan cepat Kevin menatap kembali wajah Alexa yang perlahan membuka kedua matanya. Terlihat sangat jelas betapa sakitnya Alexa saat ini.
"Kevin..."
"Aku di sini."
"Kevin, dia mau..." Alexa hanya mampu mengucapkan kalimat terputus-putus.
"Tenang, Alexa. Aku di sini. Dia tidak akan ku biarkan menyentuhmu lagi." Bisik Kevin penuh kelembutan.
Kedua mata Alexa terbuka, namun hanya sedikit. Tidak terlalu lebar meski gadis itu berusaha melakukannya. Alexa meringis kecil, kemudian menahan nafas untuk sesaat, lalu mengeluarkannya perlahan. "Ini menyakitkan, Kevin," lirihnya parau.
Kevin mencium punggung tangan Alexa. Entah mengapa ia dapat merasakan betapa pedihnya racun yang saat ini bersarang di dalam tubuh Alexa.
"Aku akan menyembuhkanmu, Alexa. Kau akan baik-baik saja."
"Sorensen melakukan ini, Kevin."
Kevin menganggukkan kepalanya. "Aku tahu. Tapi, pasti ada penawarnya. Jangan khawatir."
Untuk beberapa saat, iris kelabu milik Alexa menatap sayu dan lemah ke arah wajah Kevin. Ia tahu saat ini Kevin pasti sangat mengkhawatirkannya, karena kentara sekali terlihat di wajah lelaki itu. Alexa tersenyum getir, kemudian berkata pelan, "kau tidak boleh bersedih, Kevin."
Kevin mengangguk pelan, kemudian tersenyum penuh arti. "Aku akan kuat selama kau masih ada di sisi ku dan berada dalam perlindunganku."
Alexa menghela nafas panjang. Ia ingin menangis, karena menahan rasa sakit yang bergejolak di dalam tubuhnya. Namun, Alexa seperti kehabisan air mata. Ia lelah menangis dan terus menangis tanpa melihat sisi kuat yang ada dalam dirinya. Dengan melihat Kevin yang kuat karena dirinya, maka Alexa pun berusaha untuk merasakan hal yang sama.
~~~<>~~~
Update cepat, ide lancar. Alhamdulillah... wkwkwkwk
Vote+komen!
Makasi :))))
P.S maaf telat. Janjinya sih pagi, tapi baru dapat jaringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Blood
FantasyKehidupan Alexa sudah tidak normal sejak ia lahir ke dunia ini. Dia memiliki sebuah 'kelainan' yang sulit di ungkap dan di kendalikan oleh siapapun. 'Kelainan' yang dimilikinya itu di anggap sebagai penyakit yang dideritanya sejak lahir ke dunia ini...