Pelarian

23.1K 1K 24
                                    

Austin gemetar, memikirkan ciumannya tadi dengan Ioanis. Kini rambutnya sudah acak-acakan. Tidak bisa tidur. Dia menginginkan Ioanis namun menahan dirinya. Belum saatnya Ioanis mengetahui tentangnya. Ioanis bahkan belum bilang setuju akan membantu perusahaannya. Maka Austin akan terus mengulur Ioanis.

Austin mengambil telepon genggamnya.

"Bi-bisakah kau ke sini?" tanyanya pada seseorang dalam telepon.

"Tolong aku, aku sudah tidak tahan lagi."

Austin menutup teleponnya, masih dengan tubuhnya yang gemetar, ia membuka seluruh pakaiannya lalu menyelinap di balik selimut.

"Austin?" seorang wanita membuka pintu. Menghampiri Austin yang bersembunyi di balik selimut.

"Ini, minum obatmu." wanita itu memberikan obat kepada Austin dan langsung diminumnya.

Beberapa saat setelah meminum obat penenang, Austin memeluk wanita itu dan mencium bibirnya.

"Elaine, aku menginginkanmu Elaine. Beri aku darahmu..."

Dengan silet, wanita itu melukai tangannya, Austin dengan cekatan langsung menghisap cairan pekat yang keluar dari luka itu.

Tangannya meremas payudaranya.

"Jangan disini Austin, nanti Ioanis curiga." Austin menurut, ia mengikuti wanita itu ke kamar mandi.

Bibir mereka menyatu, bertautan saling membalas tanpa henti. Tangan Austin sudah sibuk memainkan klitorisnya dan wanita itu mendesah terus menerus. Austin mengangkat tubuhnya dan mendudukan wanita itu di atas wastafel.

Perlahan Austin memasukan penisnya dan mulai bergerak teratur. Sambil bersenggama, wanita itu mengajak Austin bicara.

"Kenapa kau tidak mencobanya?"

Austin menggigit tangan wanita itu, birahinya meledak-ledak. Gerakan memompanya nyaris tidak karuan karena menahan hasrat.

"Kamu suka dengannya?" tanya wanita itu lagi.

Austin menggeleng, gigitannya belum lepas. "Dia belum setuju untuk membantuku."

"Aku tidak bisa terus-terusan membantumu seperti ini Austin."

"Jangan bercanda, kau yang membuatku seperti ini Elaine."

"Suamiku bisa curiga."

"Siapa yang suruh menikah?"

Wanita itu diam, merasakan penyesalan dalam hatinya. Dia mendorong Austin dan menuntunnya agar menggagahinya dari belakang.

"Uhh! Hmm Austin..." desah wanita itu tidak berhenti karena berulang kali orgasme.

Dengan mulut yang berlumuran darah, Austin mencapai puncaknya. Gerakannya kian memelan.

"Kondomnya mana?" tanya wanita itu.

"Aku gak pakai." jawab Austin masih terengah-engah.

"What? Ya gapapa sih, toh aku sekarang sedang hamil." jawab wanita itu.

Austin melotot, terkejut mendengar pernyataan wanita itu. Hamil katanya?

"Silahkan pergi. Aku sudah puas." kata Austin mengusirnya. Sesungguhnya Austin kecewa. Wanita ini berkali-kali mengkhianatinya, seolah-olah Austin tidak punya perasaan. Padahal berkali-kali Austin disakiti olehnya.

Austin berjalan terhuyung setelah wanita itu meninggalkannya. Menabrak ranjang dan jatuh di atasnya, Austin menangis sesaat hingga dirinya tertidur pulas setelah bermain dengan wanita lain. Inilah pelariannya.

****

"Aku tahu kamu akan menghubungiku lagi Ioanis." Edgar tersenyum menatap Ioanis yang tak mengenakan selehaipun ditubuhnya saat ini.

"Temani aku. Aku gak puas hanya dengan 1 laki-laki." jawab Ioanis.

"Hah? Maksudmu?"

Belum sempat Ioanis menjawab, Raven keluar dari kamar mandi.

"Wah kau gila Ioanis." kata Raven ketika melihat Edgar di kamar Ioanis.

"Bon appétit!" Ioanis membuka kakinya.

Raven melirik Edgar sekilas, lalu gak mempedulikannya, kemudian Raven menarik kaki Ioanis dan menciumi vaginanya.

Ioanis meremas payudaranya sendiri sambil mendesah, "Kau sedang apa Ed? Mau menonton saja?"

Edgar langsung bergerak, membuka pakaiannya dan menyerang Ioanis. Mencumbunya dan mengulum payudaranya.

"Kau mau kami melakukan apa?" tanya Raven.

"Apapun."

Setelah menjawab itu, Ioanis meraih penis Edgar dan mengulumnya, Raven sudah mengambil start menggagahi vagina Ioanis yang telah basah bukan main.

Kemudian Raven mengangkat tubuh Ioanis dan memutarnya agar mendudukinya dan membelakanginya. Ioanis hanya bisa pasrah saat merasakan penis raven yang menyeruak masuk ke dalam anusnya. Sedangkan Edgar yang ada dihadapannya juga memasukan penisnya ke vagina Ioanis.

Ioanis mencengkeram bahu Edgar karena kedua lubangnya dimasuki penis yang begitu besar hingga terasa sesak dan nikmat sekaligus. Erangan demi erangan mereka lolos, keringat menjadi satu. Tubuh Ioanis terhentak-hentak tidak beraturan jadi dipompa dari segala sisi.

Begitu Ioanis orgasme, Edgar dan Raven mengganti posisi. Raven menggendong tubuh Ioanis sambil berdiri, dan memasukan penisnya ke vaginanya, disusul oleh Edgar yang memasukan penisnya ke anus Ioanis.

Dalam pelukan Raven, Ioanis menahan tubuhnya agar tidak merosot, hentakan mereka membuat Ioanis lemas.

"Kenapa? Pacarmu tidak bisa memuaskanmu seperti kami ya?" tanya Edgar.

Ioanis hanya mengangguk sambil mendesah, berganti-ganti posisi hingga dirinya tidak sanggup berbicara. Hingga ketika Edgar dan Raven selesai, mereka pergi begitu saja meninggalkan Ioanis yang terengah-engah kelelahan. Mereka pergi begigu saja setelah meninggalkan cairan kotor milik mereka di atas tubuh Ioanis.

Pikirannya melayang membayangkan Austin yang melakukan ini padanya. Memikirkan bagaimana caranya supaya Austin bertekuk lutut padanya. Memikirkan bagaimana Austin menghargai dirinya meski caranya kasar, memikirkan bagaimana Austin menolaknya dan menjadikannya pacar hanya untuk mengabulkan keinginan Ioanis.

Inilah pelarian Ioanis.

Di satu sisi, pikiran Ioanis dan Austin menyatu. Meski berhubungan badan dengan orang yang berbeda, masing-masing membayangkan keberadaannya. Ioanis membayangkan Austin, begitu juga sebaliknya. Namun sayang mereka tidak bisa karena ada tembok yang begitu besar menghalangi mereka.

Austin tidak bisa tidur dengan Ioanis karena candunya dengan darah manusia, sedangkan Ioanis terlalu bingung bagaimana cara membujuk Austin.

Ini membuat mereka berdua tidak sadar akan perasaannya masing-masing.
Ini membuat mereka berdua tidak sadar bahwa mereka sedang menjaga satu sama lain.

Messed Up(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang