Menyerah

7.8K 764 78
                                    

Flashback
Saat Rapat Pemegang Saham, setelah Austin memberikan kata sambutan

"Minum ini." kata Andrei memberikan kopi yang ada di mejanya kepada Austin tepat setelah Austin memberikan kata sambutan kepada para investor. Austin meminumnya hingga gelas itu kosong, dia gugup.

Setelah itu Austin duduk terdiam, hanya diam. Memperhatikan satu persatu orang yang berbicara. Andrei meliriknya dan tersenyum usil. Obat itu pasti sudah mulai bekerja. Andrei sengaja mencampurkan obat penenang bersamaan dengan kopi. Agar Austin lebih cepat terkendali, dan supaya Austin tidak curiga tentu saja. Polos sekali dia.

"Are you okay?" tanya Andrei merangkul Austin setelah rapat selesai.

"Aku akan istirahat sebentar." jawab Austin berjalan sedikit terhuyung ke arah ruangan kosong.

Andrei segera memerintahkan perawatnya untuk menjaga tempat Austin beristirahat. Para penjaga itu mendengarkan Austin yang mulai menangis memanggil-manggil nama Ioanis, tanda obatnya telah bekerja sepenuhnya hingga Austin tak sadarkan diri. Baru mereka membopongnya ke dalam mobil ketika suasana ruangan rapat sudah kosong.

Andrei tahu, bahwa Austin pasti akan berupaya melarikan diri. Austin yang belum stabil membuat Andrei mudah sekali menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Lagipula, semua orang yang dalam keadaan mengidap penyakit mental pasti akan mencoba melarikan diri bukan? Daripada mendekam di dalam ruangan sendirian dan menjalani terapi yang tak ada habisnya dan kadang menyakitkan?

Akhirnya pintu ruangan isolasi di tutup.
Austin kembali lagi ke rumah sakit.
Tanpa perlawanan bahkan ketika Austin tersadar diperjalanan. Austin tahu akhirnya dirinya akan dijebak.

Meski menyadari bahwa dirinya dijebak oleh Andrei, Austin tetap sangat membenci efek samping dari obat penenang yang Andrei berikan.

Mimpi dan halusinasi yang dialami membawakan hal-hal yang tidak mungkin. Hampir setiap hari. Selama beberapa bulan belakangan, mimpinya tentang Ioanis selalu menghantuinya. Semakin hari terasa semakin nyata. Halusinasinya semakin parah hingga membuat Austin nyaris gila.

Bahkan Austin bisa sampai mencium aroma tubuhnya, kehangatan napasnya dan basah di bibirnya. Sayang sekali ternyata semuanya hanyalah efek samping dari obat-obatan.

Hanya karena satu hal, Austin jadi yakin bahwa apa yang dia rasakan tidak nyata : tak ada guratan luka bekas jahitan maupun bekas gigitannya pada tubuh Ioanis. Mulus, tanpa cela. Seperti sedia kala. Menyadari itu, Austin hanya bisa terisak hingga tak sadarkan diri sampai akhirnya kembali terjaga pada saat di perjalanan ke rumah sakit.

Hatinya kembali merasakan sakit.
Memorinya mulai mengenang kembali kenangannya bersama Ioanis. Cuma itu yang bisa Austin lakukan untuk menyelimuti rasa rindu di relungnya. Tak ada lagi rasa semangat. Hidupnya terasa mengambang.

***

Hari demi hari Austin kembali jalani di dalam sini. Terus-terusan berlangsung hingga Andrei memutuskan bahwa Austin sudah bisa mengontrol dirinya. Hingga Andrei mengatakan cukup.
Austin hidup bergantung padanya dan dia sesungguhnya membenci itu.

Bisa dibilang, Austin masih kuat karena ayah dan ibunya. Yang menyorot tatapan kecewa dan luar biasa kesakitan ketika melihat anak satu-satunya di dalam rumah sakit jiwa, tak berdaya.

Brak!

Pintu dibuka dengan keras.
Andrei datang lagi karena marah.

"Baru saja kulihat perkembangan, sekarang kau mogok minum obat lagi?"

"Iya. Nanti akan kuminum. Aku lagi ingin sendirian."

"Sekarang. Atau akan kuguyur lagi kau dengan air es."

Austin mendelik kesal, meraih obatnya dan meminumnya dengan air putih.

"Puas?" tanyanya tajam.

Sayangnya, perawat di samping Andrei tetap mengguyur Austin dengan air es.

"Itu hukumanmu." Andrei mencatat sesuatu pada bukunya. Buku medik milik Austin.

Austin menggigil kedinginan sambil memeluk lututnya sendiri. Pasrah. Hanya bisa melawan dengan tatapan-tatapan tajam.

"Elaine kemarin menghubungiku."

"Aku tidak tertarik."

Andrei mengerutkan dahinya sambil tertawa, "Dia mengajakku kencan."

"Silahkan. Aku tidak tertarik."

"Ah bagaimana ya? Aku juga tidak tertarik. Dia tidak ada apa-apanya dibanding Ioanis. Ya kan?"

"Ioanis milikku."

"She's dead." jawab Andrei tetap berkutat dengan catatannya
"Mau kuingatkan lagi?"

"Tidak." Austin menjawab singkat.

"Dia sudah mati."

"Stop." kembali dijawab oleh Austin dengan nada tegas.

"Kau yang membunuhnya."

"Iya." jawaban kali ini membuat Andrei meliriknya.

"Kau tinggalkan dia mati kehabisan darah."

"Iya! Iya! Iya! Puas kau sekarang?!" Austin tak tahan dan melempar tray makanannya ke arah Andrei sambil menghampirinya.

"Ikat." kata Andrei dingin. Dahinya terluka karena lemparan Austin tepat mendarat di situ.

Austin langsung panik setengah mati, ketakutan melihat perawat yang mendekat. Austin meronta sekuat tenaga.

Dia akan disuntikkan obat penenang lagi karena kelakuannya yang tidak mengikuti aturan. Minum obat terlambat jadwalnya, makanan tak disentuh, dan menyerang dokternya.

"Andrei I swear to God..."
"AAAAAAA!!!" Austin menjerit melengking hingga seluruh koridor bisa mendengarnya ketika Andrei menancapkan jarum di tubuhnya. Ucapannya tidak selesai. Dia ingin sekali memaki Andrei di depan wajahnya tanpa ada alat-alat penyiksaan itu.

Dia tak mau lagi meminum obat atau disuntikkan obat lagi ke tubuhnya. Austin sudah lelah berhalusinasi. Austin ingin mati saja daripada dia harus dihantui lagi hal yang tak mungkin.

Austin terengah-engah, obatnya langsung bekerja hanya dalam beberapa menit.

"Austin!" suara wanita memekik di ambang pintu.

Mata Austin sudah sayu, melihat pemandangan di depannya. Dia melihat Ioanis masuk ke dalam kamarnya dan menampar wajah Andrei, hal itu membuatnya tersenyum puas. Meskipun Austin pikir itu tak nyata, tapi melihat Andrei yang ditampar oleh Ioanis dalam bayangannya sudah cukup membuatnya puas.

"Austin????" kedua tangan Ioanis menangkup pipi Austin yang mulai tak sadarkan diri.

"Austin can you hear me?" Austin mencoba menjernihkan pandangannya untuk melihat Ioanis di depannya. Ioanis menangis, melihat kondisinya yang begitu kacau dan hancur.

"Jangan menangis," kata Austin lirih sambil menciumi mata wanita dalam penglihatannya yang tak berhenti mengeluarkan air mata.

"I-.. I.." Austin menelan ludah sebelum mengatakannya.
"I love you... I love you too so much Ioanis."

"A-aku minta maaf baby, kalau aku selalu menyakitimu."

"Aku minta maaf.. tak bisa menjagamu tetap hidup."

Matanya kini mengeluarkan air mata, Austin menyerah untuk bertingkah sok kuat di depan wanita dalam penglihatannya itu, "Aku sudah tidak sanggup lagi Ioanis.. Please, please bawa aku bersamamu. Aku mau mati, aku tidak sanggup lagi sayang.. Tolong.. Tolong aku, untuk yang terakhir kalinya. Aku mohon. Aku menyerah..." Austin menggumam berkali-kali mengatakan bahwa dirinya tidak sanggup, menangis dan berderai air mata.

Andrei melihat pemandangan mengerikan itu dari pojok ruangan. Dia hanya diam tak berkutik, lalu meninggalkan Austin dalam ruangan neraka ini sambil menggelengkan kepalanya.

Messed Up(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang