Epilog

18.7K 817 131
                                    

"Aku datang untuk minta maaf..."

Andrei tetap diam. Mendekam di ruang isolasi tanpa menoleh sedikitpun. Tak menyentuh makanan dan obat-obatnya. Tapi bisa dilihat bahwa Jillian tidak menyiksanya seperti yang dia lakukan pada Austin. Jillian mengurusnya dengan baik dan sabar. Syukurlah.

"Andrei.."

"Pergi." jawab Andrei akhirnya. Dia muak mendengar suara orang-orang yang datang untuk meminta maaf.

"Aku akan menjaganya, tidak akan menyakitinya lagi. Tolong pastikan kau makan dan minum obatmu. Aku... dan Ioanis.. akan menunggumu ketika kau sudah lebih baik."

Tak diduga Andrei mengambil gelas di samping ranjang sempitnya dan melemparkan itu tepat mengenai dahi Austin.

Sialan! Lagi-lagi kena, gerutu Austin dalam hati.

"Ioanis merindukanmu. Cepatlah sembuh okay?" Austin akhirnya beranjak. Dia takut akan ada mangkuk atau bahkan vas bunga yang dilempar ke arahnya lagi.

Austin menghela napas.
Inilah yang terjadi pada Andrei pada akhirnya. Dikurung dalam ruang isolasi karena kerap seringkali menyakiti teman sebangsalnya. Sedangkan dulu Austin pertama kali dipindahkan ke ruang isolasi karena dirinya sering mengiris tangannya sendiri. Itu bisa memicu pasien lainnya untuk berbuat demikian.

Austin dan Jillian berjuang sangat keras agar kasus-kasus yang Andrei lakukan tidak berujung di kepolisian. Bukan untuk melindungi Andrei, tapi.. justru orang lain bisa dalam bahaya jika tidak mengenal Andrei yang sangat manipulatif dan licik.

Sebelum Austin sampai pada tahap ini, Jillian membantunya untuk melakukan test terakhir. Jillian juga memeriksa hasil test Austin waktu di Rusia. Dan kedua hasilnya sebenarnya baik. Andrei-lah yang mengacaukan hasil testnya saat akan diberikan kepada Ioanis.

Austin melangkah keluar dari bangsal dan melihat Ioanis yang duduk di bangku taman. Sungguh cantik. Rasanya seperti mimpi. Keluar dari rumah sakit jiwa kemudian melihat Ioanis bertengger manis menyambutnya.

Austin menerawang, mengingat kejadian pada saat dia terbangun dari masa kritisnya karena luka tembak setelah 3 minggu. Dia sempat bermimpi, melihat perut Ioanis yang membesar dan memarahinya, menyuruhnya untuk bangun dan memandikan anak-anaknya.

Anehnya, pikir Austin menggelengkan kepala. Dia terkekeh sendirian mengingatnya.

Kemudian semuanya mulai masuk akal ketika Austin siuman. Ioanis memberitahunya bahwa dia tengah mengandung kembali. Austin sangat senang dan sedih sekaligus saat dokter bilang kandungan Ioanis sangat beresiko mengalami pre-eklampsia (komplikasi pada kehamilan). Jadi Ioanis selama mengandun hanya bisa tergeletak lemah di ranjang. Tapi Austin tak perlu khawatir karena Ia tahu istrinya sekarang adalah orang sangat kuat. Bahkan Austin pun bertekuk lutut kan pada akhirnya?

"Bagaimana keadaan Andrei?" tanya Ioanis sambil tersenyum manis membuyarkan lamunan Austin

Austin berjalan mendekat, "Kau tidak lihat kepalaku benjol?" dibukanya lebar-lebar rambutnya. Ada luka memar di sana, dan Ioanis malah terbahak-bahak.

"Jangan kasar kepadanya." Ioanis menasehati Austin.

"Aku tidak kasar. Justru aku minta maaf."

"Aku belum bisa bertemu dengannya."

"Ya. Jangan. Nanti dia melemparmu dengan nampan makanan." jawab Austin kesal.

"Tapi akhirnya kita punya keberanian untuk menemuinya setelah 2 tahun sejak kejadian itu."

Austin mengangguk, "Aku juga gemetar begitu melihat wajahnya."
"Ingin kubunuh rasanya kalau ingat waktu itu pipi wanita kesayanganku ini dipukuli."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Messed Up(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang