40. Playboy Galau

2K 125 8
                                    

Percayalah, aku selalu ada di belakang layar itu, untuk melindungi dirimu dari masalah yang akan menimpamu.
Walau sakit yang ku dapat, aku siap tersakiti untuk dirimu.

- Fauzan Arkan Habibi.

------------------


Sering kali kita berpikir bahwa yang meninggalkan akan merasa bahagia, karena dia memiliki hal baru makanya yang lama ditinggalkan.

Tapi tidak dengan Arkan.

Dia yang meninggalkan, justru dia yang sangat terluka. Tapi, itu semua tertutup oleh topeng playboynya.
Entah sejak kapan Arkan berani terang-terangan dengan statusnya itu, setiap hari ia selalu berganti wanita yang digandengnya.

Akan tetapi, tentu tidak dengan hatinya, dalam hati Arkan tetap satu wanita dan itu hanya tertuju pada Faiza.

Kini musim liburan telah selesai, Arkan akan memasuki semester kedua di kelas 12. Yang artinya semester terakhir di kelas terakhir pula.

Dan berarti Arkan dan teman-temannya harus belajar lebih giat dari sebelumnya, mereka juga akan mengikuti beberapa pelajaran tambahan lainnya.

Seperti biasanya awal masuk di hari Sabtu, membuat semua murid sibuk di hari weekend ini.
Hari pertama masuk setelah liburan panjang adalah hari yang paling menyebalkan, apalagi hari kejepit seperti Sabtu ini.

Dengan malasnya semua murid berbaris di lapangan untuk mendengarkan apel yang tak lain dan tak bukan tentang peraturan, administrasi, atau sekedar basa-basi tentang pelajaran. Rutinitas setiap awal masuk memang pidato seperti itu sering diulang.

Membosankan.

"Berarti kita harus sering-sering ke rumah Ardila nih, ya?" ujar Ardi yang sedang berbaris dibarisan kedua dan di kanan kirinya terdapat Firman juga Arkan.

"Iya harus, minta ajarin materi yang belum ngerti. Bentar lagi juga dikasih ujian praktek yg harus dikerjain sama-sama, banyak banget ujian yang lainnya juga pasti kita. Gua bakal sering ke rumah Ardila deh," jawab Firman menimpali.

Tapi tidak dengan Arkan, dia hanya mendengarkan. Jelas saja ia bingung, harus ikut apa tidak?

"Lu ikut nggak, Kan?" tanya Ardi saat melihat Arkan tak menanggapi obrolannya.

Arkan hanya bergeming.

"Heh," Firman menepuk bahu Arkan

Arkan tersentak. "E-eh, iya apaan?" ucapnya tergagap.

"Malah ngelamun! Lu ikut kaga?"

"Ikut, tapi ... " Ucapan Arkan pun terpotong.

Ardi dan Firman pun saling memandang, seolah tau apa yang sedang Arkan pikirkan.

"Gapapa kita niat belajar aja, apapun respon Faiza nantinya harus lu terima," ujar Firman menenangkan.

Ardi dan Arkan hanya mengangguki.

Setelah selesai apel semua murid masuk ke kelas, tak ada pembelajaran. Tapi ada saja pembahasan dari ketua kelas yang katanya tangan kanan sang guru.
Tak jauh pembahasannya pasti tentang materi tambahan, absensi, atau uang kas, bisa jadi tentang ujian praktek yang per-kelompok.

"Udah kek berisik banget lu!" sela Ardi di tengah pembicaraan sang ketua kelas.

Sontak si ketua kelas menatap tajam padanya, Ardi hanya membalas dengan tatapan jengah.

"Jadi, kita masih banyak waktu buat membentuk kelompok belajar, saya harap kalian bisa mengerti posisi kelompoknya yang kesulitan," ujar si ketua kelas yang selalu bijak.

Banyak yang bilang ketua kelas ini galak, selalu marah-marah dengan suara cemprengnya.

"Dil, nanti malem kita ke rumah." teriak Ardi tiba-tiba.

Ardila menghampiri bangku di pojokan yang berisi tiga orang laki-laki itu, lalu mengambil duduk di samping Arkan.

Ardila memandangi Arkan yang tengah melamun dan bergantian memandang Ardi juga Firman.

Yang dipandang selanjutnya hanya mengangkat bahu, tanda tak tahu.

"Nggak usah kaya gitu, Kan. Kalian ke rumah gua 'kan buat belajar," ujar Ardila.

"Iya, gimana pun Faiza nanti. Lu harus terima,"

"Toh lu menjauh 'kan karena hal yang jelas," ucap Firman.

"Tapi tetap, playboynya Arkan yang terang-terangan gitu pasti bikin Faiza benci banget," ucap Ardila dengan jengah.

Ardila sudah tahu masalah yang dialami Arkan, hanya saja Ardila tetap tak terima dengan sikap playboynya Arkan. Ia pikir Arkan tak harus seperti itu, sama saja dia menyakiti hampir semua cewek di sekolah ini.

"Gua cuma nggak siap melihat Faiza, lihat dia dari jauh aja sakit banget hati gua. Apalagi deket 'kan?" ucap Arkan sendu.

"Iya terus lu nggak mau ikut gitu? Nanti nilai lu anjlok lho!"

"Gimana nanti ya? Gua nggak yakin buat ketemu dia aslian dah."

"Eh tapi tunggu deh, ini 'kan semester terakhir. Sekolah bentar lagi selesai, dan kita keluar bentar lagi dari pondok," ujar Ardi dan yang lain hanya saling menatap tak mengerti apa maksud Ardi.

"Ck, nggak pada ngarti sih! Maksud gua ya lu deketin Faiza lagi juga udah nggak ada masalah kali, Kan." lanjutnya geram seraya menunjuk Arkan.

Yang lain ikut memandang Arkan, seolah menunggu jawaban Arkan atas apa yang Ardi maksud.

"Iya sih ..." ucap Arkan menggantung.

"Ah lama, tinggal mikir cara deketin Faiza lagi. Pikirin gimana Faiza bisa percaya lagi, Faiza mau maafin lu lagi." tegas Ardi tambah geram.

"Udah udah nanti kita pikirin lagi, malem gua tunggu di rumah. Gua mau makan dulu," ucap Ardila seraya melangkah keluar kelas.

Dan seperti janjinya, malam ini rumah Faiza ramai dengan anak santri yang belajar.

Tidak, yang belajar hanya Arkan, Ardi dan Firman hanya numpang ngopi dan sekadar bermain.

Pandangan Arkan tak lepas pada pintu masuk rumah Faiza, berharap ada seseorang yang keluar dari pintu tersebut.

"Jangan diliatin mulu, dia lagi di kamarnya," ucap Ardila.

Arkan menoleh pada Ardila.

"Nanti gua liat dulu," ucap Ardila lagi.

Ardila pun berlalu, menghilang di pintu masuk itu.

Ardi dan Firman saling pandang, karena mereka duduk di teras rumah Faiza, jadi mereka bebas untuk apapun. Bebas dalam bertamu maksudnya.

"Keluar yuk!" ujar Ardila pada Faiza yang tengah membaca novelnya.

"Ngapain? Ada dia 'kan?"

"Ada lah, kan cs-nya ada semua,"

"Nggak ah males keluarnya," ujar Faiza.

"Keluar doang, ikut ngopi."

"Iya ntar gua nyusul, lu keluar aja dulu sono!"

"Iya udah, gua tunggu ya! Jangan sampe nggak keluar," ujar Ardila seraya keluar kamar.

Sesampainya di luar Ardila pun memberi tahu pada Arkan. "Nanti dia keluar, Kan. Tenang aja, sekarang mah mending bahas lagi soal-soalnya yuk!"

"Nih, Dil. Gua nggak ngerti yang ini," ucap Ardi yang tengah fokus pada soal matematikanya.

"Emm, bentar. Gua liat dulu soalnya."

"Oke,"

Ardi dan Firman juga Ardila sudah fokus pada beberapa soal. Tidak dengan Arkan, Arkan hanya fokus pada pintu masuk di sana.

Sampai terlihat knop pintu bergerak tanda ada yang ingin keluar dari dalam sana. Dan akhirnya keluarlah seseorang.

"Hai ..."

-----------------

Berjuang Tanpa Pengungkapan (COMPLETE) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang