4. Asian Games

2.4K 183 2
                                    

Aku sedang libur semester, memasuki semester tujuh dan aku tidak pulang ke Banyuwangi atau Kalimantan.

Terkadang aku sampai bingung rumahku yang mana.

Besok adalah hari dimana Ganda putra Indonesia bermain dalam rangka Asian Games. Iya, Mas Kevin-ku. Aku nekad nonton sendiri, dan aku senang sekali bisa mendapatkan bagian di tribun untuk menyaksikan turnamennya.

Bahkan aku heboh menelpon Ibu hanya untuk memamerkan diriku yang akan menyaksikan keterampilan tetangga masa kecilku dalam hobi favoritnya.

***
Saat ini aku berada di Istora Senayan. Baru saja mendaratkan bokongku di kursi, pas-pasan dengan Kevin-Marcus yang memasuki lapangan.

Astaga! Akhirnya aku bertemu dia lagi semenjak sebelas tahun lalu. Hatiku berdegup kencang sekali, sampai-sampai aku selalu tersenyum dan kadang tertawa sambil fokus memperhatikan permainannya.

Bahkan aku mengirim video untuk Ibu, memperlihatkan Mas Kevin yang bermain. Padahal di rumah pun Ibu sedang menonton juga lewat teve, tapi biarlah. Aku kasmaran sekali saat ini, dan aku senang sekali!

***
Permainan diakhiri dengan kemenangan Kevin-Marcus dengan skor terakhir 24-22 seingatku. Rasanya berakhir sangat cepat, hanya satu jam kurang lebih, tapi aku sangat bersyukur sudah bisa melihat dia langsung setelah sebelas tahun lamanya.

Awalnya aku berpikir untuk nekad mendatangi Mas Kevin, menyiapkan mental untuk mengesampingkan rasa maluku.

Tapi tidak jadi.

Aku takut dia mengusirku, dan menolakku. Ah, aku memang pesimis.

Aku langsung pergi dan memutuskan untuk makan di rumah makan chinese daerah Kwitang. Kalau ada Ibu, pasti dia semangat sekali makan disini.

Saat menunggu makanan, aku terkejut karena tiba-tiba banyak orang masuk berbondong-bondong. Kuperhatikan lagi, astaga!

Itu adalah rombongan atlet badminton! Sebut saja aku hanya menyukai Kevin, tapi memang itu kenyataannya. Aku hanya mengetahui dia dan pasangannya, Marcus. Aku tidak tahu yang lain, padahal sepertinya seluruh dari mereka ada di sini.

Aku deg-deg an karena mereka pasti mendatangiku untuk mengambil kursi, dilihat dari mereka yang menunjuk ke arahku dan kebingungan mencari kursi.

Astaga, ini  sangat tidak disengaja dan tidak kuprediksi. Dari Istora ke Kwitang, dari banyaknya tempat makanan yang tersedia, mereka memilih tempat ini. Aku harap-harap cemas, semoga Mas Kevin yang datang.

Harapanku pupus karena Marcus yang berjalan. Namun ternyata, Marcus terhenti saat dipanggil—entah pelatihnya atau siapapun itu. Maafkan aku, aku sangat tidak memperhatikan yang lain.

Sekali lagi harapanku pupus karena yang mengambil kursiku adalah laki-laki berbadan tinggi dengan senyuman yang manis. Aku mempersilahkan, dan dia hanya mengambil satu kursi, sepertinya kursi untuk mereka sudah lengkap.

Makananku datang, aku akhirnya makan dengan perasaan melankolis karena tiba-tiba galau. Ini konyol, sih, tapi tidak apa lah.

"Permisi" Aku menoleh, dan aku membeku seketika melihat Mas Kevin yang ada di sebelahku. Aku berusaha mengedipkan mataku berkali-kali, aku takut aku sedang berhalusinasi.

"Mba?" Tanyanya lagi. Bibirnya bergerak. Yang lain juga. Astaga, bukan halusinasi!

"Iya?" Setengah mati aku berusaha agar tidak gemetaran kepadanya. Aku tidak tahu harus bagaimana, rasanya campur aduk melihat seseorang yang kurindukan saat ini ada di depanku.

"Kursinya ada yang pakai?" Dia langsung memegang kursi di mejaku, dan menatapku dengan biasa saja.

"Nggak mas. Pakai aja." Jawabku, lalu tersenyum. Dia juga tersenyum, pastilah dia senang karena dia butuh kursi. "Makasih, mba siapa namanya?"

"Sinta." Jawabku, seolah-olah mengulang perkenalan kami dulu. Aku berharap dia berpikir dan mengingat sesuatu tentang namaku, ternyata tidak sama sekali.

Dia hanya terdiam sebentar, sebentar saja. Lalu berterimakasih lagi dengan mengucapkan namaku, dan berkumpul lagi dengan rombongannya. Ah, aku galau lagi tapi aku senang sekali.

Makanku selesai beriringan dengan selesainya dia dan rombongannya makan. Ibu menelponku dan memaksaku bercerita saat itu juga, lalu Ibu tertawa karena Mas Kevin tidak menyadari aku sama sekali. Kata Ibu harusnya aku agresif supaya dia ingat, tapi aku malu. Dan juga cerita Ibu tentang hal-hal uniknya bersama Mbok Din.

Aku berdiri di depan rumah makan itu, menunggu taksi online yang kupesan. Dan, astaga. Ini adalah hal yang meminta untuk ku-gerutui. Aku tidak mengerti kenapa supir-supir daritadi membatalkan pesananku, tapi mereka pun punya alasan. Bannya kempes, bensinnya habis dan sedang mencari bantuan, aki yang masih berupaya disetrum, dan barusan dibatalkan lagi dengan alasan konyol, sakit perut katanya.

Aku terduduk di depan rumah makan itu, memandang langit sambil bingung harus bagaimana. Tiba-tiba aku merasakan langkah mendekatiku, namun kuabaikan. Kupikir dia tidak ingin mendatangiku, melainkan orang di depan atau di belakangku mungkin?

Tapi dugaanku salah.

"Mba Sinta?" Suaranya mengagetkanku lagi. Aku ingat tadi aku hanya memberitahu namaku untuk Mas Kevin. Buru-buru kutoleh, dan benar dia di sana.

"Eh, iya?" Jawabku sambil menggeserkan posisi duduk. Barangkali kamu mau duduk di sebelahku mas, batinku berkata.

"Kenapa, mba? Kok belum pulang? Tadi saya lihat mba udah lama di sini." Aku berusaha sekali agar dia tidak menyadari bahwa saat ini aku sedang mengontrol nafasku.

"Iya, saya juga bingung daritadi dibatalkan supir. Makanya belum bisa pulang." Lalu aku tersenyum padanya.

"Rumah makannya mau tutup, kasihan. Sama saya aja, ya?" Ajaknya. Aku melongo di hadapannya, terkejut kenapa dia menawarkan 'orang yang tidak dikenal' untuk diantar pulang.

"He?" Refleks aku kebingungan dan bertanya, lalu dia tersenyum canggung. "Iya, saya kasihan nanti kalau mba nya kenapa-napa. Tadi kenalan jadinya kan saya kenal sama mba nya, jadi bukan orang asing buat saya." Jelasnya. "Saya sendiri kok, nggak sama teman-teman." Tambahnya lagi, seolah-olah meyakinkanku bahwa tidak ada yang lainnya.

Padahal, kalau ada yang lain, asalkan dengammu aku tidak masalah.

"Yaudah, maaf banget ya mas ngerepotin." Akhirnya kujawab, masih dengan posisi tidak enak karena dia belum mengenaliku. Tapi dia tersenyum santai dan menuntunku ke arah mobilnya.

Astaga, aku gugup sekali!

Mas KevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang