16. Ditinggal

1.6K 158 4
                                    

Aku terbangun pagi-pagi karena teleponku berbunyi. Saat kulihat, ada tertulis Ciumbrella di sana menelepon dengan fitur video call.

"Hei."
"Mas, kenapa?"
"Kebangun, ya?"
"Hehe.."
"Saya udah di bandara, setengah jam lagi boarding."
"Oh gitu.."
"Iya nih."
"Kamu udah sarapan belum mas?"
"Udah. Kamu jangan lupa makan nanti."
"Iya.."
"..."
"..."
"Ta, boarding."
"Yaudah sana. Safe flight, mas. Kabarin aku ya kalau udah sampai."
"Iya, cintakuuu. Tidur aja sana."
"Hehehe.. Dadah."

***

Aku terbangun lagi, dan waktu menunjukan pukul setengah sebelas. Aku segera mandi dan memutuskan untuk luluran karena tidak ada jadwal apa-apa. Sekali-sekali, hehe.

Akhirnya aku keluar kamar mandi pukul setengah dua belas lewat sedikit, rasanya malas sekali mau pergi. Tiba-tiba notifikasi teleponku berbunyi, ternyata Brian menghubungiku.

Brian Alexander
Ta, dimana?

Brian Alexander
Sibuk?

Dengan malas-malas, kujawab:

Agatha Sinta
Di kos. Ada apa?

Brian Alexander
Eng.. Aku di depan. Bisa keluar sebentar?

Aku terkejut dan segera melihat di balik tirai jendela. Ada mobil Mitsubishi Pajero Sport baru yang bisa kulihat ada Brian di dalam. Aku sempat bingung, kalau kutolak nanti aku melanggar janjiku. Beberapa waktu lalu saat Brian ulang tahun, dia memohon supaya aku bisa menemani dia jalan. Dan salahnya, aku berjanji dengan Brian kalau aku mau menemani. Padahal saat ini aku malas sekali, tapi, ah sudahlah...

Agatha Sinta
Iya

***

Sebenarnya aku bosan sekali kalau jalan sama Brian. Seperti saat ini, dia mengajakku ke restoran mahal yang tampilannya elegan. Mana aku hanya memakai baju kaus, celana jeans dan sepatu. Sungguh tidak ada kesepakatan. Dan, aku bingung mau makan apa karena tidak ada yang menggugah selera. Aku jadi teringat, biasanya makan sama Mas Kevin di pinggir jalan atau warung dan kami pasti makan sampai kenyang bego.

Omong-omong, aku pesan yang paling mahal saja. Sengaja, hehe.

"Ta? Sama siapa?" Aku menoleh karena merasa terpanggil, ternyata ada Ci Agnes sendiri. "Ci! Aku sama temenku, nih." Kataku, lalu mengekspresikan wajah yang tidak enak ke Ci Agnes seakan-akan mengartikan,'Gaenak, terpaksa, malesin.'

Ci Agnes tersenyum, mengangguk-angguk dan menepuk pundakku. Dia hanya tersenyum ke Brian, lalu pamit untuk menunggu makanannya. "Semangat ya nungguin Bang Toyib, kamu gak sendiri." Katanya dengan sedikit penekanan dan aku terkekeh.

***

"Sinta, mau belanja baju gak? Aku bayarin, mumpung nih." Aku menggeleng, aku tidak suka sekali kalau orang lain membelikanku barang yang akan lama kupakai, kecuali terpaksa. "Gak usah, bajuku masih banyak yang bisa dipakai." Kataku. "Ayolah, satu aja. Ya?" Aku menggeleng dan menunjukan wajah tidak senang dengan negosiasinya. Dia tampaknya mengerti, tapi tetap mengajakku masuk ke toko baju. "Temenin aku pilih-pilih aja." Katanya.

Kenyataannya? Dia sibuk pilih-pilih sendiri, mengambil beberapa baju dan celana yang dia suka, lalu mengajakku berpindah ke tempat lain. Terbalik sekali. Aku berusaha tidak mengeluh, toh, dia semakin menyebalkan juga.

Selesai Brian membayar, aku sudah tidak mood lagi jalan-jalan. Aku hanya ingin pulang dan ingin tahu keadaan Mas Kevin saat ini. "Sinta, mau apa?" Mau nyusul Mas Kevin ke Jepang, maunya kujawab seperti itu.

"Balik aja." Kataku sambil berpangku tangan. "Gak mau jajan?" Katanya menawarkan lagi. Astaga, aku jadi ilfeel sama Brian. "Nggak, Brian." Kataku dengan nada yang lebih tinggi. "Aku mau pulang." Tambahku, lalu berjalan menuju jalan keluar. Dia ikuti, sih.

Saat di dalam mobil Brian pun aku banyak diam, sambil menghitung jam perkiraan Mas Kevin sampai di Tokyo. Hanya lagu bergenre EDM punya Brian yang mengisi keheningan, genre yang paling belum bisa kunikmati.

Saat waktu menunjukan pukul empat, aku mendapat teleponku berbunyi. Akhirnya! Ciumbrella yang menelepon. Kuangkat tanpa melihat Brian, dengan senang hati tentunya.

"Hai!"
"Hei.. Lagi apa?"
"Um.. Lagi duduk di mobil."
"Habis apa?"
"Habis temenin temen."
"Cowok, ya?"
"Tau darimana?"
"Ci Agnes kasih tau Koh Sinyo."
"Ya gitu lah, mas. Ga seneng."
"Kalo ga seneng, kenapa mau?"
"Janji."
"Hm.. Apapun yang kamu lakukan, usahakan dengan senang hati non. Jangan dengan paksaan, nanti kamu banyak nyeselnya."
"Iya.."
"Saya gak maksa kamu buat apapun. Cuma, ya, saya mau lihat kamu seneng aja."
"Maaf, mas."
"Gapapa, cinta."
"Mas dimana?"
"Bandara, habis ganti simcard. Lagi tungguin bagasi."
"Oh gitu.."
"Ta.."
"Iya?"
"Saya agak takut kamu lebih mau sama dia."
"Nggak, mas."
"Ga ada yang tau masa depan kaya gimana, bahkan kita."
"Aku janji gak gini."
"Jangan, nanti kamu gak bebas kalo terikat janjimu."
"Tapi.."
"Saya pergi dulu ya, bagasinya udah semua."
"Yaudah.."
"I miss you, Ta."

Setelah telepon tertutup, Brian seperti tidak sabar menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Aku malas sekali, astaga.

"Siapa, Ta?" Tuh, kan. "Masku." Jawabku malas. "Kan, kamu anak tunggal?" Katanya lagi menggebu-gebu. "Emang kenapa, sih?" Tanyaku balik. "Ya.. Kan, gak biasanya kamu teleponan sama cowok." Aku mengerutkan dahiku, yah, kenapa sampai segitunya. "Masmu.. Siapa, Ta?" Aduh, kenapa belum sampai-sampai ke kos. Aku muak sekali.

"Ada lah." Jawabku seadanya. "Siapa?" Katanya dengan penekanan. "Kenapa, sih?! Gak semuanya kamu bisa tahu!" Kataku dengan nada meninggi dan membulatkan mataku dengan sempurna ke hadapannya. "Pacarmu kan?" Tanyanya lagi. "Kalo kamu tanya aku lagi, aku turun aja di sini. Biar aku cari gojek. Gak menghargai privasi orang kalo kaya gini, Brian." Ancamku, lalu Brian diam.

Sesampainya di kos, aku buru-buru turun supaya tidak dicegat, tanpa menoleh sama sekali aku langsung masuk saja. Toh, aku tidak mengharapkan apapun dari Brian.

Aku jadi ingin menghubungi Mas Kevin, terserah dia akan tertarik atau tidak.

Agatha Sinta
Mas

Agatha Sinta
Tadi aku dikepoin

Tidak menunggu waktu lama, Mas Kevin langsung meneleponku lagi.

"Halo, mas.."
"Dikepoin gimana emang?"
"Dia tanya siapa, aku jawab masku. Terus dia tanya mas siapa karena aku anak tunggal, terus kutanya balik. Dia tetep maksa, masmu siapa, gitu. Terus finalnya, pacarmu ya, gitu. Aku bentak aja tadi, kubilang ga semuanya kamu tau, gitu."
"Saya disembunyiin, ya? Udah bisa marah, nih?"
"Ya, gak gitu. Aku ngikutin Mas Kevin aja, kan Mas Kevin juga diem-diem aja."
"Sinta mau saya tag langsung?"
"He? Kok?"
"Iya, biar orang-orang tau kalo kamu sama saya. Biar gak ada yang berani gangguin kamu, bahkan sampe bawa kamu jalan berduaan gitu."
"Maaf ya mas.."
"Sekali lagi ada yang bikin kamu marah, saya gak segan-segan untuk smash mukanya."
"Aduh, aku malu."
"Apapun yang buat kamu bahagia, saya ga akan larang sedikitpun."
"Iya, mas."
"Saya percaya sama kamu."
"Iya."
"Oktober nanti tetap jadi Sinta yang bahagia kayak seminggu kemarin saya bawa pergi."
"Iya, mas.."
"Udah ya, nyampe hotel nih. Jangan nangis, saya rindu."
"Aku rindu juga, mas.."

Lalu telepon terputus dan aku menyeka air mataku. Rasanya bahagia, sih, karena perkataan Mas Kevin begitu. Aku jadi merasa sangat berdosa. Beberapa saat kemudian saat kulihat teleponku yang berbunyi, ada notifikasi instagram:

Kevin_sanjaya tagged you in a post.

Lalu saat kulihat, ada fotoku saat Hari Minggu pagi di mobilnya kemarin. Captionnya begini:

Support system.💙

Aku secara otomatis terguling-guling di kasur.

---
Hello!
Ternyata saya dapat inspirasi, jadi ada update untuk Hari Kamis ini.
Hehehe, doakan lancar ya teman-teman.😆

Mas KevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang