Setelah pencarian warung pecel terdekat dan paling direkomendasi, aku dan Mas Kevin nyasar ke daerah Gambir. Yah, dekat sih dari kos.
Seperti kemarin, Mas Kevin menjadi pusat perhatian. Ditambah dia datang denganku. Namun aku berusaha bertingkah seperti pembeli biasa dan membiarkan orang-orang mengerumuni Mas Kevin. Yah, hitung-hitung rezeki mereka bertemu dia.
***
"Kenyang, Ta?" Tanya Mas Kevin di mobil sambil memasang sabuk pengaman. "Kenyang, mas. Makasih udah diajakin." Jawabku sambil ingin memasang sabuk pengamanku juga.
Tapi tanganku buru-buru diturunkan Mas Kevin dan dia yang memasangkanku sabuk pengaman.
Diriku ambyar.
Eh, tahan.
"Mau main-main ke pelatnas, gak? Kemarin kan cuma temenin ambil powerbank." Katanya, masih dalam posisi miring di depanku setelah memasangkan sabuk pengaman.
Aduh, muka Mas Kevin jaraknya dekat sekali dengan mukaku. Badanku terguncang dan tidak sanggup berbicara. Aku hanya mengangguk sambil menatap matanya, padahal aku yakin saat ini mukaku merah karena malu.
Mas Kevin menyeringai, imut sekali. Aku masih diam karena tahu pasti mukaku tidak terkontrol sekarang.
"Gausah pakai make up pipi ya, gitu aja udah cantik kok merahnya." Kata Mas Kevin menyindirku, lalu fokus menyetir. Aku menatapnya, memanyunkan bibirku, dan dia tertawa.
Aku juga ikut tertawa. Bahagia sekali rasanya saat ini.
***
Kami sampai di asrama pelatnas dan menyusuri jalan menuju kamar Mas Kevin. Sama Mas Rian sih sebenarnya, hehe.
Aku hanya mengikuti Mas Kevin, tidak berani celingak celinguk karena aku malu. Saat mempersilahkan masuk kamarnya, ada Mas Rian yang sedang main PS sendirian dan terkejut melihat aku datang.
"Lho, ikut ya?" Mas Rian menghentikan permainannya, memberi jalan agar aku dan Mas Kevin bisa masuk. Aku tersenyum dan mengangguk, lalu mataku terfokus pada kamar yang berantakan lagi.
Aih, para lelaki memang selalu saja begini.
"Maaf ya kamarnya kotor." Kata Mas Rian sambil menggaruk tengkuknya yang aku tidak tahu betul gatal atau tidak.
"Gapapa, mas." Kataku sambil perlahan jalan menuju ujung kasur. Dan refleks, aku mengencangkan seprai kasur juga melipat selimut yang berantakan. Mas Rian masih memperhatikanku sih, cuma aku pura-pura sibuk saja.
"Ta, yang lain main ke sini boleh?" Tanya Mas Kevin mendekat padaku. Aku mendongak sambil memegang selimut, lalu mengangguk saja. Mas Kevin tersenyum dan langsung menelpon teman-temannya.
"Jay, sini! Udah diacc kok.", "Ni, ayo sini! Ibu negaraku gak keberatan kok.", "Jo ayok main, diacc kok."
Aku salah tingkah sebenarnya karena mendengar apa yang Mas Kevin ucapkan. Belum lagi, melihat Mas Rian yang agak kaget dan menyenggol Mas Kevin seakan dia salah bicara. Padahal setelah itu Mas Kevin tersenyum kemenangan sambil menatapku. Aku menunduk tidak mau dilihat, nanti mereka tertawa melihat mukaku yang tidak terkontrol.
Aku lebih memilih membersihkan kamar yang berantakan ini saja, mengumpulkan plastik-plastik dan kapas yang entah kenapa muncul lagi. Juga handuk yang bertebaran, baju dan celana kotor yang ditaruh sembarangan. Sukur tidak ada pakaian dalam yang ditaruh sembarangan, huf.
"Eh, Sinta ngapain kok malah bersih-bersih?" Aku menoleh karena merasa dipanggil. Ternyata Fajar yang barusan bersuara.
"Gapapa kak, biar lebih bersih aja kelihatannya." Jawabku sambil menaruh pakaian kotor ke keranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Kevin
Teen FictionDia tetanggaku yang sangat kurindukan. Yang mengajariku bermain bulu tangkis pertama kali dan membuatku lupa dengan rak boneka barbieku, dan menjadi ingatan abadi untukku tentang kasih pertama yang berbeda kurasakan. Tentang Mas Kevin, si pemain gan...