Sesampainya di lapangan turnamen, kami langsung di arahkan menuju belakang panggung dengan status keluarga/privat.
Aku buru-buru mengikuti langkah Ci Agnes karena khawatir terpencar mengingat aku tidak bisa Bahasa Mandarin.
Selama permainan berlangsung, aku diam saja menyaksikan Mas Kevin dan Koh Sinyo dengan harap-harap cemas. Ci Agnes pun sama denganku, panik antara mendukung dan takut mereka kalah.
***
Saat ini aku berada di pusat kuliner yang terkenal ramai di Hong Kong. Aku hanya bermodal google dengan terjemahannya, sisanya kupasrahkan pada Tuhan.
Aku jadi menyesal saat sekolah dulu tidak belajar Bahasa Mandarin.
Semuanya berjalan lancar. Aku memesan makanan dengan baik, dilayani dengan baik juga makan dengan tentram. Tadi, sih, saat aku pergi Ci Agnes sempat khawatir. "Nanti kamu hilang, gimana?" Katanya.
Yah, daripada aku harus mengeluarkan biaya beberapa kali lipat untuk makanan hotel lebih baik aku jalan-jalan.
Lalu, bagaimana keadaanku dengan Mas Kevin?
Begitu saja. Aku tidak bertemu dengannya, aku juga tidak ingin mengganggu. Aku terlalu insecure menghadapi Mas Kevin, rasanya semakin bersalah.
Hari semakin gelap dan tiba-tiba angin kencang menyerang. Karena khawatir, aku buru-buru kembali ke hotel dan membayar makananku. Lokasi kuliner ini tidak jauh sih dari hotel, namun jika terburu-buru rasanya seperti jauh karena aku jalan kaki.
Ci Agnes is calling...
"Iya, ci?"
"Ta, kamu ga pulang?"
"Ini di jalan, ci. Kenapa?"
"Aku lihat di berita barusan katanya bentar lagi hujan deras. Cepet balik ya."
"Eh, iya? Yaudah ci, aku sambil lari."
"Hati-hati, Sinta!"Aku jadi merinding karena takut dengan petir dan gemuruh. Masa bodo dengan orang sekitar, kuputuskan lari saja hitung-hitung mengurangi rasa bersalahku karena makan banyak.
***
Sesampainya di kamar hotel, aku bergegas mandi karena berkeringat. Ci Agnes tidak ada di kamar, mungkin sedang bersama Koh Sinyo?
Sedang enak-enaknya menikmati drama, aku terkejut dengan kilatan petir dari jendela. Padahal jendela sudah kututup tirai, namun tetap saja cahayanya memaksa masuk dan mengagetkanku.
Sekedar memberitahu, aku takut sekali dengan kilat dan gemuruh. Aku tidak punya alasan rinci tentang ini, hanya saja tiap gemuruh menggelegar dan kilat datang aku pasti ketakutan setengah mati. Rasanya seperti mereka ingin menyambarku begitu saja. Semua elektronik yang berada di dekatku pun kujauhkan, bahkan kalau bisa kulempar agar aku tidak disambar.
Kupikir kilat dan gemuruh tadi hanya sepintas saja, ternyata semakin menjadi. Aku terduduk di sebelah kasurku, takut menghadap jendela dan takut memegang teleponku. Aku panik sekali saat ini, tapi yang bisa kulakukan saat panik hanyalah diam dengan seribu pikiran di kepalaku.
Datang lagi kilat yang entah keberapa, lalu diikuti pemadaman listrik hotel dengan tiba-tiba. Aku ketakutan, bahkan menangis karena aku sendirian dan tidak mampu berlari keluar. Belum lagi suara gemuruh yang menyusul tanpa ampun yang membuatku tidak tenang dan terkejut tanpa henti.
Aku hanya memeluk kakiku, menunduk dan menunggu kilatan cahaya dan gemuruh ini menghilang.
Namun, perlahan kurasakan seseorang menyentuhku dan memelukku dengan erat. Aku tidak tahu siapa, tapi akhirnya aku lega karena aku tidak sendirian.
"Maaf.. Saya lambat datang, ya?"
Deg
Aku terdiam. Ini suara Mas Kevin. Suara laki-laki yang kurindukan. Suara laki-laki yang ingin kugapai namun aku tidak tahu caranya. Langsung kupeluk badannya tanpa peduli bagaimana komentarnya nanti, yang penting jiwaku tenang.
Mas Kevin hanya diam sambil membelai rambutku dan sesekali mengecup keningku.
"Saya di sini, Ta. Jangan panik lagi.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Kevin
Teen FictionDia tetanggaku yang sangat kurindukan. Yang mengajariku bermain bulu tangkis pertama kali dan membuatku lupa dengan rak boneka barbieku, dan menjadi ingatan abadi untukku tentang kasih pertama yang berbeda kurasakan. Tentang Mas Kevin, si pemain gan...