24. Sebuah Klarifikasi

1.7K 153 2
                                    

Beberapa saat kemudian, badai akhirnya berlalu. Aku melepas pelukan Mas Kevin dan pergi ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajah dan merapikan rambut. Mas Kevin menyusul, dia berdiri di depan kamar mandi memperhatikanku dan diam saja. Aku jadi bingung harus bagaimana.

"Makasih ya, mas.." Kataku, lalu dijawabnya dengan anggukan. Astaga, canggung sekali. Aku jadi bingung harus membicarakan apa.

"Um, mas.." "Ta, saya mau ngomong." Aku terkesiap karena dia tiba-tiba memotong perkataanku. Aku mengangguk, mengikuti Mas Kevin yang kembali berjalan ke arah kasur.

"Maaf kalau saya ganggu hubungan kamu sama Brian. Maaf kalau saya egois.." Aku terdiam. Apa katanya? Hubunganku dengan Brian? Apa-apaan?!

"Saya gak tahu gimana caranya supaya kita bisa dekat. Semuanya ngalir gitu aja buat saya. Saya berharap kamu bisa sebebas kayak sama Jombang waktu bareng saya, tapi kenyataannya saling menutupi."

Aku masih diam, tidak ingin menyela sama sekali. Aku hanya ingin fokus mendengarkan sampai waktunya aku yang berbicara.

"Saya gak tahu kenapa kamu gak kasih tahu kalau kamu Sinta yang dulu saya temenin nangis-nangis karena boneka barbie. Tapi setelah saya pikir-pikir mungkin saya salah langsung ngebentak kamu gitu aja waktu itu, gak mau terima opinimu sama sekali."

"Waktu saya mau kejar kamu, ternyata kamu udah sama Brian. Saya takut kamu diapa-apain, saya ikutin sampai depan kos."

"Kondisi saya juga makin gak beres karena jadi banyak yang dipikir. Mikirin kamu sama turnamen."

"Saya gak bisa ngeraih kamu sama sekali. Saya sempet dimarahin karena gak disiplin latihan, semua ngira karena kamu. Makanya saya balik kerja keras lagi, saya nggak mau kamu dibawa-bawa dalam profesi saya apalagi disalahin."

"Saya bingung harus gimana, Ta. Saya seneng banget waktu telepon Mama ternyata itu memang kamu. Semua pertemuan singkat yang saya rasain benar-benar kayak ditakdirkan."

"Saya nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba dingin sama saya. Saya nggak ngerti kenapa kamu berubah. Saya mau tanyain kamu, tapi selalu tertunda."

"Saya kangen banget sama kamu. Nggak tahu, rasanya nggak aneh buat saya walaupun kita baru ketemu. Rasanya udah deket banget aja."

"Tapi, Ta.. Kalau buat kamu saya cuma pengganggu dan saya nggak pantas untuk bersanding di sampingmu, saya mundur aja."

"Dan, soal foto sama perempuan.. Saya nggak punya pembelaan apa-apa. Saya memang ajak dia jalan karena saya benar-benar gak tahan sama pikiran-pikiran saya yang terus nyariin kamu tapi nggak bisa. Saya nggak nyalahin kamu, saya nyalahin diri saya aja karena gak becus dan konsisten."

"Tapi, saya mau kamu tahu.. Dari perpisahan beberapa tahun lalu sampai saat ini, nggak pernah sedikitpun saya lupa sama kamu. Saya terus nyariin kamu. Nemuin kamu di waktu sekarang cukup membahagiakan buat saya."

"Kamu bisa ada di sini karena Koh Sinyo, Ci Agnes sama Jombang kasihan liatin saya stres mikirin kamu. Saya disuruh mereka telepon kamu terus, tapi saya nggak mau ganggu kamu lagi karena kamu udah sama Brian."

Setelah mendengarkan semua penuturan Mas Kevin, aku menggigit bibir bawahku yang bergetar karena menahan tangis. Pelan-pelan, kutarik napas lalu kuhembuskan lekas-lekas dan menatap matanya.

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku lalu memeluk Mas Kevin seerat yang kubisa. Seakan-akan aku tidak menyediakan kesempatan sekali lagi untuknya pergi.

Kurasa Mas Kevin terkesiap, tapi Ia buru-buru membalas pelukku.

Aku diam untuk beberapa saat, sampai akhirnya aku yang kembali berbicara.

"Pertama, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Brian. Dia selalu muncul di waktu yang kebetulan dan aku serasa harus ikut sama dia. Kami juga nggak ngomongin tentang hal menyangkut perasaan."

"Brian malah dukung aku. Brian ingetin aku buat gak buru-buru menghakimi waktu aku lihat foto mas di lambe. Brian suruh aku hubungin mas, pertahanin mas."

"Mas bukan pengganggu. Aku seneng banget malah kalau ada mas temenin aku."

"Aku nggak ngerti kenapa aku nahan untuk ngaku kalau kita udah kenal lama. Bahkan aku berencana untuk kasih tahu mas secara kejutan."

"Aku selalu kacauin pekerjaan mas, ya.. Maaf."

"Aku nggak tahu harus bersikap apa kalau sama kamu, mas. Aku nggak mengerti peraturan yang ada. Aku seneng kalau kamu selalu sama aku, tapi aku nggak pernah berani memaksa kamu untuk prioritasin aku."

"Aku ngerasa bersalah karena sudah bikin kamu kacau. Kemarin turnamen kamu kalah dan itu pas banget setelah kita semingguan jalan terus. Aku takut kamu dimarahin banyak orang, disalahin banyak orang karena ekspektasi mereka ke kamu nggak kesampaian."

"Aku takut orang-orang di sekelilingmu nggak setuju dengan keberadaanku dan menganggap aku cuma pengganggu, makanya aku pergi."

"Semuanya juga kebukti, setelah aku pergi kamu menang lagi."

Aku kembali terisak, padahal sudah mati-matian kutahan. Mas Kevin masih terdiam, tapi tangannya masih melingkar di punggungku sambil mengelus-elus agar aku bisa lebih tenang yang nyatanya aku semakin histeris karena merasa bersalah.

"Kita ulang dari awal, ya?" Mas Kevin tersenyum, lalu menghapus air mataku. Aku merasa diriku jorok sekali di hadapannya, menangis tersedu-sedu dengan hidung yang mampet.

"Saya mau kamu yang temenin saya lewatin rintangan hidup. Saya mau kamu yang kuatin saya waktu saya sedih, saya mau kamu yang menikmati kebahagiaan saya."

"Saya mau kamu percaya dan terbuka sama saya dan saya juga akan begitu sama kamu."

"Nggak ada salah paham dan overthinking lagi."

Aku mencerna pelan-pelan kalimat demi kalimat yang diutarakan Mas Kevin, lalu terdiam lagi.

Barusan dia menembakku, kah?

"Iya, gak?" Mas Kevin mulai tersenyum jahil, aku akhirnya terkekeh. Aku mengangguk, lalu membenamkan kepalaku pada dadanya.

"Jangan nangis lagi, sayang.."

Mas KevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang