Aku terdiam, bingung harus menjawab apa pada lelaki yang terbaring lemah di hadapanku saat ini.
"Non?" Aku menatapnya takut-takut, perlahan tangannya bergerak menggenggam jemariku.
"Mas kangen banget genggam tangan kecil ini. Ternyata sampai sekarang tetap mungil ya?" Ucapnya terkekeh, yang kubalas dengan senyum.
"Sinta udah mau lulus ya sebentar lagi? Ga kerasa ya, dua tahun gak ketemu kamu tambah gede.."
"Mas beneran kangen sama kamu. Banyak banget hal yang mau mas lakuin supaya ketemu kamu, tapi selalu nggak kesampaian."
"Tahu, gak? Mas beberapa kali ada di momen terpukul dan mas selalu keinget kamu. Mas mau datengin kamu aja rasanya, melukin kamu, tapi nggak bisa."
"Sedih rasanya harus pisah waktu mas udah plong dan lagi sayang-sayangnya.."
"Sinta gimana dua tahun ini?"
Aku menghela napas,
"Aku baik-baik aja. Aku coass di sini dan sisa beberapa bulan terakhir, setelah itu aku ujian supaya bisa wisuda dan sumpah." Jawabku, berusaha tidak ingin menyinggung masa lalu yang sesungguhnya kurindukan juga.
"Sinta masih marah ya sama mas?" Wajahnya kini sungguh membuatku tak tega, namun aku masih bersikeras untuk biasa saja.
"Nggak, ngapain marah." Jawabku, lalu mengalihkan pandangan.
"Tahu, gak? Mas waktu itu setelah bisa ngapa-ngapain langsung to the point bilang ke semuanya kalau mas cuma mau sama Sinta. Mas bahkan bilang dari awal nggak mau dijodoh-jodohin."
"Mas sering lihat kamu di Instagram aja. Kamu angkat telepon mas malam itu pun, mas bahagia luar biasa Ta. Padahal malam itu mas sedih sekali."
"Kamu selalu punya cara dan kekuatan yang bikin mas jadi lebih waras. Mas gak pernah mau lepasin kamu sebenernya."
"Atau.. Sinta sudah punya pacar?" Wajahnya berubah sendu, namun tetap menuntut jawabanku.
"Aku nggak punya pacar, mas." Jawabku sebisanya.
"Sinta dari tadi diemin mas, udah gak mau sama mas lagi ya?" Tanyanya, sambil mengelus lenganku.
Ah, seketika segala keegoisanku dulu terekam jelas membuat air mataku lolos begitu saja.
"Mas minta maaf kalau bikin kamu marah. Tapi sampai detik ini gak pernah sedetikpun mas lupain Sinta, ceweknya mas yang paling baik dan yang paling cantik. Hehe." Jemarinya menghapus air mataku, lalu tersenyum padaku.
"Mas udah jelasin semuanya, sampai detik ini hati mas tetap buat kamu." Situasi ini menjadi kacau sekali bagiku, namun jika Mas Kevin kutinggal pergi pun tak bisa karena aku harus menunggu Dokter Ellen. Sial, seperti jebakan.
"Aku yang egois mas, aku yang minta maaf. Dua tahun ini juga nggak gampang kulewatin sendirian, maaf aku mentingin egoku sendiri dan nggak nungguin kamu."
Aku terkejut sendiri setelah kata-kata itu lolos begitu saja, begitu juga Mas Kevin yang sempat terdiam namun akhirnya tersenyum.
"Sini sayang, mas sayang-sayang dulu." Dia merentangkan tangannya, perlahan aku mendekat dan ikut memeluknya erat.
Gila, pelukan ini.. Sudah lama sekali kurindukan.
"Kamu lulus, mas nikahin. Oke?" Ucapnya begitu saja, lalu mengecup puncak kepalaku berkali-kali dengan gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Kevin
Teen FictionDia tetanggaku yang sangat kurindukan. Yang mengajariku bermain bulu tangkis pertama kali dan membuatku lupa dengan rak boneka barbieku, dan menjadi ingatan abadi untukku tentang kasih pertama yang berbeda kurasakan. Tentang Mas Kevin, si pemain gan...