28. Siapa?

1.5K 134 3
                                    

"Mas, ngapusi kamu ah. Gak lucu!"
"Aku lho atlet, bukan pelawak. Aku serius!"
"Gak percaya! Aku barusan dari rumah Mas Kevin kok."
"Astaga, Agatha Sinta anak wedhok, aku serius banget ini!"
"Mana buktinya?!"

Langsung ada permintaan video call, segera kuangkat.

"Tuh, Kevin lagi di dalem ada tindakan. Mana pernah sih aku bohong."

Yang kulihat saat ini adalah seorang lelaki yang pakaiannya bersimbah darah, agak susah dilihat karena banyak petugas yang menangani.

Posisinya terlihat tidak sadar, terlihat sudah ada nasal kanul yang terpasang dan bagian kepala yang sedang diperhatikan seorang dokter.

Aku terdiam, mencoba berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya, Mas Kevin tadi bilang akan ke kementerian setelah aku pergi.

Kucoba cek lagi, pesan terakhir yang dia kirim ke akupun bunyinya baik-baik saja.

Love
Mas pergi yaa

Dia tidak bermaksud pergi ke surga kan?

***

Mas Rian dan Kak Fajar langsung menjemputku setelah mengonfirmasi aku bisa pergi. Di jalan aku bahkan hanya diam, tidak bisa mengucapkan pertanyaan tentang Mas Kevin saking khawatirnya aku.

Mereka mengerti. Mereka juga diam, membicarakan hal lain agar aku tidak memikirkan Mas Kevin terlalu berlebihan.

Sesampainya, aku buru-buru lari menuju pintu IGD. Di sana sudah ada Mbak Wid, Ginting dan Coach Herry yang berdiri di depan pintu.

Perlahan, Mbak Wid berjalan ke arahku dengan ekspresi wajah yang tidak bisa kujelaskan.

Digenggamnya tanganku, lalu aku dibawa masuk menuju bilik tempat Mas Kevin terbaring.

Aku menangis tentu saja, tidak bersuara dan histeris. Menggenggam tangannya dengan perlahan, memperhatikan sekujur tubuhnya yang luka.

Aku bahkan tidak menyangka dia akan seperti ini. Aku baru saja merasakan bahagia yang luar biasa setelah pertikaian ringan, namun kenapa saat ini aku kembali ditempa?

***

"Aku pulang dulu ya, besok kuliah lagi." Aku pamit pada Mbak Wid, yang segera disetujuinya.

Orang tua Mas Kevin akan datang besok, sehingga aku mungkin akan kembali lagi.

Aku pulang sendirian dengan ojek online, berusaha melupakan Mas Kevin sejenak karena aku harus menyicil skripsiku pulang nanti.

Entahlah, aku tidak ingin saja karena hal ini prioritasku jadi terbengkalai. Aku hanya tidak ingin mengecewakan Ibuku.

Dan, ya, Ibu sudah kuberitahu. Ibu hanya menyabarkanku, mengingatkanku agar jangan terlalu kepikiran dan sibukkan diri dengan hal yang sudah seharusnya menjadi prioritasku.

Sesampainya di kos aku langsung membersihkan badanku, membuat secangkir kopi hitam dan berkutat dengan laptopku.

***

Aku terbangun pukul lima pagi, buru-buru bersiap untuk pergi ke kampus karena pukul setengah tujuh aku harus pergi ke Depok berkaitan dosenku berada di kampus sana.

Usai memastikan segala keperluan sudah masuk ransel, aku buru-buru pergi menuju stasiun agar tidak tertinggal kereta.

Sesampainya di stasiun kampus Depok, aku segera menuju perpustakaan kampus dan mencari dosenku. Dengan usaha yang maksimal agar tidak memikirkan Mas Kevin dulu, akhirnya aku sampai.

"Permisi dok, mohon maaf saya Agatha Sinta yang mau konsul."

Terlihat di dalam ada dr. Tuti, dosen pembimbingku, dan seorang lelaki yang aku tidak tahu siapa namanya.

dr. Tuti melihatku sebentar lalu berucap pada lelaki yang bersamanya sedari tadi,"Sana Jo, udah beres kan? Gue mau bimbingan lagi."

Laki-laki yang namanya Jo barusan memperhatikanku dari atas ke bawah, membuat perasaan terintimidasi yang sangat kuat berkembang pesat untuk diriku.

"Ngapain lu liatin anak bimbingan gue? Sana ah!" Ucap dr. Tuti lagi sambil mendorong lelaki itu keluar.

dr. Tuti memang begitu, berusaha untuk selalu dekat dengan anak-anak bimbingannya. Entahlah, di antara semua dosen hanya dr. Tuti yang bisa berteman sesantai ini dengan mahasiswa.

***

Mas Rian Jombang
Mau ke rs gak?

Pas-pasan bimbinganku selesai, ternyata Mas Rian sudah missed call dua kali dan mengirimkan pesan.

Agatha Sinta
Aku di Depok. Nanti pergi sendiri aja

Mas Rian Jombang
Ok, ditunggu mertua

Aku tersenyum secara otomatis. Mertua? Orang tua Mas Kevin sudah datang? Aku langsung salah tingkah karena membayangkan harus apa nanti.

Perjalanan ke rumah sakit memakan waktu satu jam, akupun terbiasa dengan perjalanan seperti ini. Tidak apa, asalkan perjuanganku ini melahirkan hasil yang kuidam-idamkan aku sangat ikhlas menjalaninya.

Joanardhito started following you.

Joanardhito wants to send you a message.

Dua notifikasi berbunyi di teleponku dan saat kubuka, sepertinya dari lelaki yang kutemui di ruangan dr. Tuti tadi.

Joanardhito
Dek, yang bimbingan sama dr tuti kan?

***

"Ta, lama banget sih!" Keluh Mas Rian yang menjemputku di lobby rumah sakit. Aku terkekeh,"ya maaf deh, mas. Kan aku bimbingan dulu tadi.."

Aku sebenarnya bingung, Mas Rian dari tadi banyak sekali alasannya. Mulai dari minta ditemani membeli makanan, ke toilet, sampai mengajakku ngobrol berduaan di depan poli anak.

"Mas, aku mau ke Mas Kevin. Dari tadi kamu ngalor ngidul, ayok ah!" Mas Rian tampak panik, lalu berusaha tenang lagi sambil memperhatikan jam tangannya.

"Nanti, lima belas menit lagi. Ya?" Karena menurutku sikapnya tiba-tiba aneh, aku buru-buru lari masuk lift dan pergi menuju IGD. Mas Rian tampak panik tadi sambil mengejarku, membuat aku jadinya berpikiran macam-macam.

Sesampainya di depan ruang tunggu IGD, aku bingung sekali karena banyak orang bersama Mbak Wid dan aku tidak kenal. Mungkin dari pihak sponsor?

"Hai, mbak!" Sapaku pada Mbak Wid yang membuatnya tiba-tiba terkejut.

Belum sempat Mbak Wid menyapaku balik, seorang wanita berumur yang tadi berbicara dengan Mbak Wid tiba-tiba bertanya padaku.

"Kamu siapanya Kevin, ya?"

"Pacarnya, tante." Jawabku dengan nada yang kuusahakan ramah.

Wanita itu mengerutkan keningnya, tidak membalas jabat tanganku namun memberikanku tatapan heran.

"Gak mungkin.." Gumamnya. Aku terdiam, apa ini maksudnya?

"Kevin itu sudah direncanakan bertunangan dengan anak saya dari lama. Ndak mungkin kan malah pacaran sama kamu?"

Lalu setelah itu Mas Rian datang dan menarikku keluar dari ruang tunggu IGD.

Mas KevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang