19. Kecewa

1.6K 140 2
                                    

Hari-hari berlalu, dan bisa kukatakan aku lebih banyak berbicara dengan Mas Rian daripada Mas Kevin. Entah kenapa, semenjak perasaan bersalahku muncul saat itu dan aku yang selalu menyalahkan diriku, durasi aku bertelepon dengan Mas Kevin berkurang.

Entah karena Mas Kevin yang sedang fokus untuk final China Open atau semua overthinkingku benar. Terakhir kuhubungi dia saat memenangkan Japan Open kemarin, dan dia hanya menjawab seperti ini yang membuatku tidak percaya diri:

Mkasih yaa

Iya, hanya begitu saja. Aku langsung telepon Mas Rian saat itu dan bertanya apakah Mas Kevin baik-baik saja, lalu kata Mas Rian saat itu Mas Kevin lagi senang-senang saja. Aku jadi ciut dan memutuskan untuk diam saja.

***

Saat ini aku berada di kampus yang berada di Depok, menyambangi perpustakaan legend karena aku ingin mengembalikan beberapa buku sekaligus menyegarkan pikiranku dari pikiran-pikiran jahatku.

Tumben sekali jalanan lancar, perjalananku hanya menempuh lima puluh menit. Biasanya aku harus menempuh dua jam karena waktu yang kupunya untuk pergi ke sana saat jam istirahat.

Sesampainya di perpustakaan, aku langsung mengembalikan buku yang kubawa di bilik peminjaman serta meminjam beberapa buku yang lain untuk pegangan sementara.

Hari ini aku tidak memiliki jadwal apapun, tidak ada hal yang terburu-buru jadi kuputuskan untuk santai sejenak di pondok makan yang berada di dalam kampus.

Kupikir hari ini emosiku akan lebih tenang, ternyata tidak setelah Brian —yang entah darimana— sudah berdiri di depanku saat ini.

"Hai." Katanya menyapaku. Karena ingin tenang-tenang saja, aku tidak berniat jahat kepadanya. "Hai, Bri." Jawabku sambil mendongak, karena aku sekarang duduk di lesehan dan Brian masih berdiri.

"Boleh ikut makan di sini? Semua pondok penuh, terus aku lihat kamu di sini." Katanya dengan penuh harapan. Kulihat-lihat, Brian pucat dan menggendong tas yang aku yakin isinya berat sekali karena terlihat gendut. Aku mengangguk, toh, Brian tidak selamanya buruk.

Selagi menunggu makanan datang, Brian dengan serius mengetik pada laptopnya, mungkin dia sedang mengerjakan skripsi? Akupun tidak tahu. Aku juga diam saja sambil memainkan teleponku, sampai akhirnya di layar teleponku berganti dengan nama Mas Rian yang menelepon.

"Iya, mas?"
"Neng, neng, neng!"
"Ih, apaaaa?"
"Aku mau minta kamu lakuin sesuatu."
"Iya, apa?"
"Plis, dilakuin, yah."
"Iyaaaaaa."
"Jangan buka Instagram dan portal-portal berita sampai aku pulang besok. Paling nggak, sampai lusa deh. Lusa kita ketemu, ya?"
"He? Ada apa, mas?"
"Ih, turutin aja. Ya?"
"Kok, kamu ngeselin sih, mas?"
"Sakarepmu! Pokoknya jangan dibuka dulu sampai kita ketemu, ya?"
"Yaudah, mas. Aku gak buka. Tapi dua hari aja, ya? Aku gak bisa kalo gak ngecek lambe, hehehe."
"Lebih baik jangan, Sinta. Yaudah, janji ya?"
"Iya, iya mas."
"Nah, nanti tak beliin ciki."
"Hah?"
"Ciki dari China."
"Nggak kw, kan?"
"Nggak, lah! Yawes, tak tutup dulu. Mau kumpul, dah."
"Dah."

Selesainya aku menutup telepon, makanan pun datang. Brian juga menghentikan kegiatan mengetiknya dan bersama denganku menikmati makanan kami dengan hening.

"Ta, rencana sidang kapan?" Kata Brian membuka topik sembari menikmati makan. "Um.. Januari awal." Kataku sambil mengingat-ingat. "Berarti nanti ikut wisuda kloter Februari, dong?" Katanya lagi. Aku mengangguk-angguk sambil memikirkan nasibku saat ini, mengingat skripsi yang harus kukebut dengan baik. "Semoga bareng, ya." Aku tidak menjawab Brian lagi karena bingung harus berkata apa, jadi aku sibuk menikmati makananku saja.

"Sinta sekarang sama Brian, ya?" Aku buru-buru mendongak, lalu mendapatkan Gista di sana. Eh, Gista? Sejak kapan dia memperhatikanku? Kenapa dia tahu Brian?

"Cocok ya, pembalasan dua-duanya." Kata Gista tak berekspresi dengan posisi yang sama. "Hah? Pembalasan?" Nafsuku makan langsung menghilang begitu saja dan ingin pergi jauh-jauh dari sini.

Gista mendekat sambil mengetik sesuatu pada teleponnya, lalu menunjukkannya padaku. Awalnya aku tidak mengerti, yang kulihat adalah foto laki-laki dan perempuan dengan posisi si perempuan yang sedang menyeka keringat pada si laki-laki.

Aku berpikir keras sampai akhirnya membaca kutipan foto yang begini:

Babang Mpin Sanjaya bukannya sama embaknya yang kemarin mendahului minceu bukan???

Jantungku secara otomatis berdebar kencang, aku bingung harus apa. Aku jadi mengerti kenapa Mas Rian melarangku membuka Instagram dan portal berita tadi, namun sia-sia. Aku terdiam, tiba-tiba bingung harus apa.

"Lo gak tahu?" Tanya Gista yang membuatku tersadar. Aku menggeleng sambil menatap wajahnya yang tetap datar, menyebalkan. Sesaat, wajahnya berubah menyesal, lalu datar lagi.

"Gue gak ada apa-apa sama Sinta. Gue cuma numpang karna pondok penuh, terus mau gak mau nebengin ke sini." Brian akhirnya bersuara setelah menyaksikan percakapanku dan Gista.

Brian sempat melihat sebentar foto yang Gista tunjukkan padaku, lalu menatapku dengan serius.

"Sinta.. Dia bukan orang biasa. Banyak orang yang kenal. Banyak yang mau. Kalau kamu belum denger langsung dari dia, jangan sakit hati dalam-dalam, siapa tahu kamu cuma salah paham." Kata Brian setelah melihatku shock.

***

Sesampainya di kos, aku buru-buru menelepon Mas Rian, entah dia sedang melakukan apa, aku tidak peduli, meskipun pada panggilan ketiga teleponku baru diangkat.

"Kenapa, neng? Ribut nih di court."
"Mas, aku udah lihat."
"Lihat apa?"
"Lambe.."
"Kok bisa?!"
"Ditunjukin, bukan aku yang mau."
"Are you okay?"
"Sepertinya.."
"Senyum, neng."
"Iya.."
"Kevin sayang kamu."
"Apaan..."
"Eh, jangan nangis. Cup cup, cah ayu jangan nangis."
"Ngeselin!"

Yah, begitu. Hari ini kacau sekali. Kabar Mas Kevin dengan seorang perempuan, ditambah lagi Mas Kevin dan Koh Sinyo yang tidak memenangkan China Open membuatku merasa semakin bersalah karena sudah mengganggu jadwal wajib Mas Kevin kemarin.

Aku jadi menerka-nerka, apakah mungkin ini akhir perkenalan ulang singkatku dengan Mas Kevin?

Mas KevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang