20. Bicara

1.5K 143 2
                                    

Setelah hari itu, hari-hariku menjadi kosong lagi. Tidak ada Mas Kevin yang meneleponku setiap hari atau sekedar mengirim pesan mengajakku makan. Tidak ada perhatian-perhatian dari Mas Kevin yang biasanya membuatku jingkrak-jingkrak.

Tidak ada yang memanggilku Cinta.

Aku lebih sering bertemu dengan Mas Rian, entah jalan tanpa tujuan atau saling curhat karena aku tidak tahu siapa orang yang akan mengerti selain dia.

***

Mas Rian bilang dia akan jemput. Aku iya-iya saja, langsung siap-siap karena katanya sudah dekat. Kupilih baju kaos polos berwarna hitam dan celana jeans hitam, supaya senada dengan hatiku yang kelam.

Kurang lebih dua puluh menit setelah telepon, Mas Rian bilang kalau sudah di depan kosku dan bertepatan dengan diriku yang baru selesai bersiap.

"Masih sedih?" Tanya Mas Rian saat aku masuk mobil. Aku menatap Mas Rian, terdiam dan menyeka air mataku yang tiba-tiba mengalir begitu saja. "Udah, jangan sedih. Sinta mau apa?"

"Mau Mas Kevin." Jawabku tersedu-sedu. Entahlah, saat ini aku hanya ingin bertemu dengannya. "Duh.. Aku belum bisa kalau itu. Cari makan dulu, yuk? Udah, cup cup, jangan nangis Sinta." Mas Rian menatapku dari kursi pengemudi. Dari raut wajahnya, aku paham dia bingung harus bagaimana menghadapiku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk berhenti menangis, Mas Rian sudah baik sekali kepadaku dan aku tidak ingin mengadakan drama di mobilnya.

Mas Rian memutuskan untuk makan sate di pinggir jalan. Aku senang-senang saja, Mas Rian sampai seperhatian ini menghiburku yang sedang patah hati karena kawan sekamarnya. "Mau dua ratus tusuk, neng?" Kata Mas Rian dengan nada mengejekku.

"Heh! Sepuluh aja, awas banyak-banyak." Mas Rian terkekeh sebentar, lalu menyebutkan pesanan untuk kami berdua. "Receh banget, sih, mas!" Kataku sambil menatap Mas Rian yang duduk di depanku.

"Biar kamu gak sedih terus, neng." Katanya tersenyum, lalu memainkan teleponnya. Aku merasa tersentuh karena perlakuan Mas Rian kepadaku benar-benar membuatku merasa hangat dan nyaman, yah, kau tahu, jarang sekali aku menemukan orang seperti ini di ibukota.

Yah, aku over-emotional lagi.

"Neng, mau ke pelatnas gak?" Aku langsung bingung dengan pertanyaan Mas Rian. Pelatnas? Buat apa?

"Ngapain, mas?" Tanyaku, lalu dahiku mengkerut karena aku berpikir apa yang akan kulakukan di sana. "Memperbaiki sesuatu yang rumpang, mungkin?" Kata Mas Rian ragu-ragu. Aku terdiam, sudah pasti Mas Rian membicarakan Mas Kevin.

Aku sedih sekali sebenarnya kalau mengingat pertemuan singkat kali ini. Aku tidak tahu kesalahanku apa karena aku benar-benar menjaga omonganku di hadapannya, tapi dia duluan yang dikabarkan pergi dengan perempuan lain dan meninggalkanku begitu saja.

Jika kondisinya seperti ini, apakah aku yang harus memperbaiki bagian rumpang itu?

***

Mas Rian memutuskan untuk membawaku ke pelatnas. Sampai saat ini aku hanya terdiam, tidak banyak bicara karena teralihkan pikiran-pikiran tentang Mas Kevin.

Aku terlalu percaya diri kalau Mas Kevin punya niat lebih kepadaku. Aku terlalu berlebihan dan tidak bisa mengendalikan perasaanku. Dia baik, namun aku saja yang selama ini salah menilai maksud perlakuannya.

Tapi, sampai saat ini, foto-fotoku dari Instagramnya belum dihapus. Satupun! Ini membuatku semakin penasaran dan galau karena aku tidak mengerti apa yang dia inginkan. Kami jarang berkomunikasi lagi, bahkan hampir tidak pernah, tapi dia mempertahankan fotoku. Bagiku, itu adalah hal yang spesial.

Sesampainya di pelatnas, aku mengikuti Mas Rian yang berjalan mendahuluiku. "Duduk di sini, dia bentar lagi pulang. Aku di kamar, kalau ada apa-apa, langsung telepon." Lalu Mas Rian meninggalkanku.

Aku deg-degan sekali saat ini. Bukan karena sendirian lalu menghayal ada hantu, tapi lebih ke-bagaimana aku memulai pembicaraan dengan Mas Kevin nanti.

Aku panik sekali, tapi kutahan semampuku dengan diam tanpa melakukan hal apapun. Saat kulihat mobil Mas Kevin yang biasa kunaiki tiap dia menjemputku datang, aku mulai gemetaran sambil menyiapkan diriku untuk berbicara dengannya. Aku harus bicara, apapun itu, asal aku lega, pikirku.

Saat Mas Kevin mulai berjalan masuk ke bagian asrama, aku lari mendekatinya yang membuat dia sempat kaget. Mungkin, dia tidak menyangka akan kehadiranku di sini?

"Mas.." Kataku. Dia melihatku, tanpa ekspresi. Dia terdiam untuk waktu yang lumayan lama jika ditunggu, lalu bersuara. "Ada apa ke sini?" Tetap dengan ekspresi datarnya.

"Aku mau bicara sama kamu." Kataku lantang. "Tentang apa?" Katanya, dengan ekspresi seperti menahan sesuatu. "Aku boleh tanya?" Kataku sambil menatap matanya. Tanganku sudah tidak gemetar, tapi masih dingin. Sukurlah aku tidak gagap berbicara.

Mas Kevin mengisyaratkan untukku berbicara, lalu langsung kutanyakan padanya. "Aku ada bikin salah, ya?" Mas Kevin terdiam sebentar, lalu bersuara. "Menurutmu?" Aku bingung kenapa dia bertanya balik. Saat aku sedang berpikir, dia bersuara lagi.

"Menurutmu enak kalau orang yang kamu cari-cari selama ini tahu kalau dia dicariin, tapi malah menutupi? Menurutmu enak kalau di sini aku merasa dibodohi? Menurutmu saya mau kalau berjuang sendiri? Menurutmu saya suka kamu teleponan sama Jombang tiap malam? Menurutmu saya gak terancam ditegur terus karena sering mikirin kamu? Menurutmu gak beban waktu turnamen, terus kalah, karena saya mikirin kamu?"

Aku terdiam. Aku terkejut sekali, berpikir lagi Mas Kevin tahu darimana semua hal itu.

"Saya memang nyari Sinta nya saya yang dulu. Tapi, saya tahu, Sinta nya saya yang dulu udah pasti nggak ada. Sinta nya saya udah pasti berkembang jadi perempuan dewasa. Tapi, saya nggak pernah berharap kalau Sinta yang saya cari selama ini malah seegois ini sama saya."

Usai kata-kata itu terucap, Mas Kevin tidak ingin melihatku. Iya, aku menangis, antara takut dan menyesal. Mas Kevin memilih untuk jalan masuk asrama daripada menghadapiku. Setelah mendengar kata-katanya, aku langsung berjalan saja ke arah gerbang depan dan memesan ojek online.

Aku pulang, dengan penyesalan yang sungguh-sungguh membuatku kacau.

Mas KevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang