30. Keputusan

1.5K 132 8
                                    

1. Sering sakit hati
2. Sering ditinggal
3. Lebih banyak menghadapi hal-hal yang tidak kuinginkan
4. Cobaan yang semakin susah ditoleransi

Empat poin tersebut kutulis sebagai pertimbangan akan keputusanku selanjutnya.

Aku benar-benar tidak ingin tenggelam dalam kesedihanku ini. Aku terus mengingatkan diriku akan prioritasku merantau, terlebih kasihan Ibu jika aku terus begini.

Kupikir, jodoh itu memang pilihan dari Tuhan namun tetap kita yang menentukan.

Seperti gambling, pun tak ada yang akan tahu akhir kehidupanmu seperti apa.

Dua hari belakangan Mas Kevin selalu menghubungiku secara intens, dilihat dari isi pesannya sepertinya dia sudah tahu kalau aku tahu.

Mas udah bangun, gamau jenguk?

Mas butuh kamu non

Non, lagi apa? Sibuk skripsi ya?

Semangat Agatha Sinta, doaku besertamu

Mau fokus skripsian yah? Gapapa, mas dukung. Yang bener biar cepet lulus!

Budok, pasiennya kangen~

Gak ada yang bisa nentuin mas harus sama siapa, mas cuma mau sama kamu

Mas lagi fisioterapi, asik kalo kamu yg temenin~

Sumpah, aku tidak bermaksud jahat. Bukannya aku tidak ingin mendengarkan penjelasan Mas Kevin atau apapun, namun sepertinya saat ini bukan saat yang pas untuk kami berdua.

Rasanya seperti semesta belum mendukung karena hatiku belum setangguh itu dengan keadaan sekitar.

Meneteskan air mata dan melanjutkan skripsi, hanya itu yang bisa kulakukan.

Aku memilih untuk mundur alon-alon, biarkanlah wanita-wanita cantik itu mendekati Mas Kevin.

Tidak, aku tidak menyerah. Buatku, ada hal lebih penting yang harus kuselesaikan sebagai modalku untuk kembali nanti.

Mungkin kelak aku akan lebih kuat, akan lebih berani, akan lebih lebih yang lainnya.

***

Aku terbangun dan tidak nikmat sekali karena ketiduran di meja.

Oh skripsi, jika saja ada fast track sarjana akan kulakukan saat ini.

Teleponku berbunyi, dengan kondisi setengah sadar akhirnya kuangkat begitu saja.

"Eh, diangkat.." Mataku langsung terbuka dengan segarnya mengingat siapa pemilik suara ini, seketika aku menepuk dahiku.

"Mas gak tahu Sinta lagi apa, tapi kayaknya sibuk belajar ya jam segini masih bangun?"

"Mas udah pulang, non. Mas udah di ciumbrella lagi, latihan lagi."

"Mas gak tahu mas harus apa karena Sinta nggak ngomong apa-apa sama mas."

"Nggak papa, kalau selama telponan ini Sinta nggak mau ngomong juga nggak papa. Denger suara napasnya Sinta juga mas udah seneng."

"Kayaknya ada banyak hal yang belum mas bilang sama Sinta, ya? Jadinya selalu salah paham.."

"Mas cuma mau Sinta tahu kalau selama ini mas juga nyariin Sinta. Sekalipun mas dijodoh-jodohin, itu karena tante-tante itu yang ngebet banget bukan mas ataupun mama yang mau."

"Perempuan yang mas bawa ke pelatnas cuma kamu. Perempuan yang mas bawa ibadah dan berdoa bareng cuma kamu. Perempuan yang paling bisa bikin mas senyum walaupun lagi marah ya cuma kamu."

"Makanya kalau kamu lagi marah gini mas ngerasa bersalah banget."

"Mas sayang sama kamu. Sehat-sehat ya, jangan diforsir terus kerjaannya, jangan lupa istirahat, jangan lupa makan, jangan lupa berdoa mengucap syukur."

"Kamu tahu harus ke mana kalau butuh mas, mas selalu ada di sini."

Sialnya, aku menangis dan terdengar olehnya.

"Jangan nangis, sayang. Kamu harus kuat, harus tangguh. Kamu gak bikin salah, jangan nangis."

"Atau nangis karena mas jahat, ya?"

"Yaudah, mas tutup telponnya ya. Selamat belajar, selamat tidur, selamat menjalani kehidupan dunia. Tuhan besertamu.."

Lalu telepon itu kuputus secara sepihak dan tentu saja tangisanku meledak malam ini.

Mas KevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang