Karena bagiku, cinta hanya perasaan semu yang menghancurkan segalanya. Aku tidak percaya bahwa cinta itu indah. Karena pada kenyataannya, itu tidak ku miliki.
Bayu Octavano Adhitama
_______
Ini adalah pagi yang sama. Dengan cuaca yang sama, perasaan yang sama, dan kesunyian yang sama. Seperti sembilan tahun yang berlalu dengan kehampaan tanpa akhir. Dan sesak yang selalu Bayu rasakan ini, entah kapan hilangnya. Jikalaupun tidak bisa hilang, lebih baik Tuhan menghilangkan kehidupannya.
Pagi yang sama seperti sembilan tahun yang lalu, dimana dirinya harus bersiap ke sekolah di bantu Mbak Nani -pembantu rumah tangganya- dan sarapan penuh ketegangan.
Hening memang, tapi menyakitkan.
"Uang sekolah kamu sudah Papa transfer, sekalian sama uang jajan kamu," kata Papanya memecah keheningan yang ada.
Bayu hanya diam berusaha untuk tidak tersenyum kecut.
"Hari Jum'at ada pertemuan wali murid," kata Bayu setelah berhasil meneguk air putih di tangannya.
Tidak ada sahutan, seperti yang sudah-sudah. Bayu juga bisa menebak jawaban orang tuanya.
"Mama tidak bisa hadir, sayang. Ada pertemuan dengan tamu dari Australia. Maaf ya," satu dari Mamanya yang membuat Bayu hanya mengangguk maklum.
"Papa harus ke Singapura besok. Nanti akan Papa hubungi kepala sekolah kamu."
Ya, tidak masalah. Sama sekali tidak masalah.
Bayu berhasil menghabiskan sarapannya sebelum Mamanya bicara. "Mama sudah mentrasfer uang kamu. Nanti malam Mama pulang terlambat ya," kalimat itu membuat Bayu mengerutkan kening, tapi hanya sesaat. Ini sudah biasa terjadi. Jika Mama pulang terlambat, maka Papa tidak akan pulang.
"Kamu harusnya sadar jika tugas Mama itu mengurus anak dan rumah, bukan pulang terlambat," Bayu sedikit membuang napas pelan saat mendengar Papanya mengucapkan kalimat itu. Awal genderang perang di bunyikan.
Hal itu seperti tombol otomatis emosi Mamanya. "Kamu saja tidak pernah mengurus apapun. Cuma Tiffany saja yang kamu urus selama ini," lihat? Bayu benci ini.
Papanya yang sedari tadi sibuk dengan ponsel, akhirnya mengangkat kepala untuk menatap Mamanya dengan tatapan benci.
"Itu karena kamu tidak bisa jadi istri yang baik!"
"Kamu sendiri tidak berkaca dengan perilaku kamu," pertengkaran yang diyakini Bayu tidak akan berhenti ini membuatnya bangkit dari kursi. Dia mengambil tangan Papanya, menciumnya. Lalu mengambil tangan Mamanya, dan menciumnya.
Bayu mengambil tas dan meninggalkan meja makan begitu saja. Tapi begitu melewati ruang tengah dia berteriak.
"Mbak Nani, Bayu berangkat!"
Hal yang tidak pernah ia ucapkan pada orang tuanya. Seperti bel panggilan wajib, Mbak Nani berlari turun dari lantai 2 membawa kunci motor Bayu dan jaket.
"Mas sudah bawa minum? Bekalnya tadi? Nanti pulang jam berapa? Mau dibuatkan Mbak makan apa? Futsal apa nggak? Apa basket? Ajak Mas Noval ke rumah dong Mas, tapi suruh bawa lumpia," rentetan pertanyaan dari Mbak Nani membuat Bayu mengulas senyum tipis. Bayu memakai jaketnya dan merangkul Mbak Nani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayu Dan Lala (Completed)
Roman pour AdolescentsGadis itu sangat mengagumkan. Suaranya, senyumnya, tatapannya, tingkahnya, semuanya membuat Bayu jatuh terpesona. Tentang Bayu yang mencinta, dan Lala yang merelakan... Mell, Oktober...