7.

53 14 0
                                    

"Hei, bangun! Dia telah tiada, apa yang masih kamu harapkan sekarang?" tanya Alpha seolah membuatku tertampar oleh realita.

"Tidak! Tidak! Itu sudah jelas itu dia...," kataku kekeuh.

"SADAR! DIA SUDAH MATI. MATI. BUKAN HIDUP." Katanya membuatku terisak.

Semua... hancur. Bagaimana bisa tidak hancur kalau hatiku sudah berporos padanya. Ibaratkan dia titik tengah dari suatu roda dan aku hanyalah jari-jari yang mengelilinginya. Dia adalah poros yang tak pernah keropos.

Alaska, satu-satunya bintang di lautan hitam yang berhasil menyinari malamku. Telah tiada, menghadap semesta, bergelumung dalam tanah, dan berseteru dalam kegelapan.

"Zea!" Kaget. Itulah hal pertama yang aku rasakan.

Aku berbalik badan dan alangkah terkejutnya saat iris mata kami saling bertatapan. Kembali... dia kembali.

Hancur sudah pertahananku, luruh sudah jiwaku, lebur sudah ragaku.

Dia mendekat, degup jantungku semakin berantakan, dan air mataku luruh.

"STOP!!"

"Siapa kamu?"

"Alaska, Ze! Ini Alaskamu, Alaska Bumi Angkasa." Jawabnya membuatku membatu.

"TIDAK! Alaskaku sudah tiada, kamu... kamu... BUKAN! INI TIDAK BOLEH TERJADI," teriakku menjerit sekencang-kencangnya bersamaan derasnya air mataku.

"Hei, tenang." Dia memelukku erat, bahkan sangat erat seolah senja mengulur waktu untuk menenggalamkan dirinya.

"Dengar degup jantung ini tidak? Semesta masih memberikanku detak agar kamu tidak kehilangan mataharimu."

Sungguh, aku terbuai oleh perkataannya, bagaimana tidak. Sosok itu datang lagi kembali menjadi matahariku.

"Degup jantung itu tidak palsu?" dengan polosnya aku bertanya.

"Hahahaha.... Kamu itu lucu banget, aku kan sudah berdiri di sini kenapa kamu pikir bahwa semuanya itu palsu. Ingat, rasaku tidak pernah terkikis oleh waktu tidak pernah terbuang setiap detiknya, bahkan burung-burung pun ikut menari di atas gumpalan awan menyaksikan cerita kita yang tak pernah usai."

Penjelasan macam apa itu. Sudah cukup! Semesta, jangan buat perutku dikelilingi kupu-kupu lalu, mereka semua menggelitiku bahkan aku tidak ada kata untuk menggambarkan rasanya.

Kini aku sadar bahwa ada waktunya bunga untuk mekar, layu, atau bahkan mati. Tapi, semesta tidak akan membiarkan bunga itu mati. Maka, mentari datang kembali menghidupkannya.

Terima kasih semesta, karenamu aku belajar tentang kisah yang akan kembali jika kisah itu sempat terhenti.

-End

***

Drabble from Destinasalwa

DrabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang