Lima

49 3 0
                                    

Shelyf kembali ke rumah, hal yang paling ia benci di dunia. Disana seperti hal-nya sebuah tanah gersang, tanah gersang yang haus akan kasih sayang. Jika rumah ini diibaratkan dengan tanah, maka tanah itu seakan jarang tersirami oleh sejuknya air hujan hingga menjadi begitu haus dan kering. Sementara jika rumah ini diibaratkan dengan cuaca, maka sama saja dengan kemarau abadi yang membuat semua makhluk mati secara perlahan dengan jalan paling menyakitkan. Shelyf enggan membuka pagar besi di depannya kini. Dibalik pagar besi itu tersimpan cerita-cerita menyedihkan yang telah ia lewati. Ketakutan, penyesalan, penyiksaan, kesengsaraan dan perlakuan buruk dari Aris semuanya terangkum dibalik tembok rumah ini. Rasanya seperti sesak menghimpit dadanya ketika melihat rumah ini. Tempat yang seharusnya menjadi landasan terindah dalam perjalanan panjang yang ia tempuh, tapi malah menjadi tempat yang paling menyeramkan baginya dan tempat bermulanya segala mimpi-mimpi buruknya. Tempat yang setiap hari harus ia tinggali lebih seperti penjara tak kasat mata yang dengan bisu mengurung dan mengunci kebahagiaannya. Shelyf membuka gerbang pintu itu dengan memaksa perasaannya, decitan besi tua yang sudah 3 tahun belum di perbarui catnya cukup membuat telinga-nya geli. Rumah berlantai dua ini menjadi saksi bisu tentang banyak penderitaan yang Shelyf telah lalui.

Kakinya bergetar, mulutnya rapat terkatup ketika matanya memandang ruang tamu yang berantakan. Kaca dari vas itu kembali pecah, padahal baru beberapa hari yang lalu Amelia membeli vas yang baru. Kini kepingan itu semakin membuat hatinya tersentak karena kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalamnya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan kemarahan dari lantai 2 menggema dengan agungnya, para Pembantu, Supir atau siapapun di rumah ini tiada yang berani melerai. Mereka berusaha mati-matian untuk acuh dan menenggelamkan diri mereka pada pekerjaan masing-masing. Tuannya sedang berada di puncak emosinya, dan dia tiada hak untuk ikut campur karena Aris bisa melukai siapa saja dan begitu mudahnya menjadi gelap mata. Rumah ini bahkan seringkali berganti Pembantu karena sebagaian dari mereka tak betah dan takut dengan ulah Tuannya yang temperamental. Walau tak pernah melukai para Pekerja rumah sekalipun, Aris solah tak segan memukul habis Istri dan Anaknya, tak peduli siapapun yang melihat.

" Papa.." teriakan Sheryl dari lantai dua bagai terkaman buas yang langsung memakan habis seluruh kekuatannya. Kakinya lemas ketika teriakan itu bahkan lebih nyaring dari sebelumnya, Shelyf berusaha meraih tangga dengan tangannya yang bergetar, kakinya yang terasa seperti lumpuh ia paksa untuk menaiki tangga dan berlari dengan nafas terengah dan memecah segala yang ia pikirkan. Sesampainya, Shelyf langsung memeluk tubuh gadis mungil itu, ia tak sanggup melihat mata Aris yang sudah di baluri amarah. Shelyf merasakan tubuh gadis itu bergetar dan isak tangis mengalun bersama sesenggukan yang membuat hatinya panas. Mulutnya tak lagi banyak bicara, matanya kini telah berderai air mata.

" Papa jangan sakiti Sheryl " pinta Shelyf dengan terisak, tangannya dengan erat memeluk tubuh mungil adik-nya yang bertambah kurus setiap harinya.

" Kenapa kalian semua bisa membawa sial bagi saya? Dan kamu Shelyf! " Mata Aris memicing tajam ke arah Shelyf, telunjuknya dengan sempurna menujuk wajah Shelyf yang merunduk beku. " Jangan pernah buat Papa malu, sudah untung kalian Papa biarkan hidup bersama Ibu kalian yang sialan itu" ucapnya lalu pergi, memasuki ruang kerjanya dengan membanting pintu keras-keras. Shelyf langsung saja lemas setelah tegang menyergapnya beberapa saat. Ada apa ini? Pria itu selalu marah-marah kepada anak-anaknya. Masalah sepele bisa begitu menjadi besar bila Aris yang menanganinya.

" Sheryl..." Shelyf berusaha memanggil adiknya, tapi gadis itu tak kunjung mengeluarkan suara.

" Sheryl..." Suaranya semakin melembut, salah satu tangannya dengan lembut mengusap rambut panjang gadis manis itu.

Tubuh Sheryl bergetar hebat, Shelyf semakin mempererat pelukannya. Pasti gadis itu sedang berada dalam ketakutan yang membuatnya menjadi batu. Ia pernah berada diposisi itu. Saat lidahnya kelu dan dia tak tahu apa yang harus ia katakan padahal hatinya terus mengutarakan banyak ketakutan . Shelyf paham dengan apa yang Sheryl rasakan dan pikirkan saat ini. Jika bukan karena kepercayaannya akan Tuhan dan rasa kasihnya pada Amelia, mungkin dia sudah lebih dulu meninggalkan dunia ini. Tenggelam damai di surga dan pergi, mencari Ayah lain di alam lain dan harapan agar Aris sadar juga pasti ia sampaikan pada Tuhan nya.

It's Better If You Don't UnderstandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang