Delapan

34 3 0
                                    


Shelyf akhirnya sanggup melihat sosok yang telah membuat banyak karya visual itu. Orang itu kini duduk diatas kursi roda. Wajahnya tampak tenang, dan kuas yang berada di ujung jarinya tersebut bergerak seperti halnya ombak yang mengayun-ngayun dengan pasti sampai akhirnya membentuk satu objek yang terlihat begitu nyata. Pria itu sedang melukis potret anak kecil yang tersenyum. Dengan wajah serius jemarinya terus mengaplikasikan warna-warna pada lukisan anak kecil yang mengenakan gaun dengan model lengan gaunnya menggelembung dan panjang gaun itu tak sampai mata kaki. Anak kecil itu mengenakan mahkota dari bunga, kakinya yang telanjang dengan indah menyusuri bebatuan dari sungai dangkal yang jernih dibawah jajaran pohon maple, kedua tangannya direntangkan untuk menyeimbangkan tubuh mungilnya. Rambut pirang kemerah-merahannya dikuncir menjadi dua. Di lukisan itu diceritakan sedang dalam keadaan musim semi. Pantulan dari daun maple yang berwarna emas dengan bentuknya yang menjari dengan indah membuat anak gadis itu tampak menikmatinya, wajah cantiknya yang tertunduk menatap bayangan daun maple yang terjatuh membuat pantulan dari dirinya terlihat sedikit jelas. Kulitnya seputih salju saat musim dingin dengan bagian pipinya yang merona, senyum antusias mengelana di wajahnya. Gestur tubuhnya cukup menjelaskan semuanya, Tentang bahagia sederhana dalam hidupnya. Udara itu mungkin hanya menjadi fiksi dalam karya visual, tapi entah mengapa kesejukan musim semi ikut menguar menyejukkan siapapun yang melihatnya.

Lama ia mengamati, pria yang duduk diatas kursi roda tersebut menoleh. Matanya seketika menatap manik hitam Shelyf. Shelyf tersenyum canggung saat keduanya bertemu tatap, pria itu tak berhenti melepaskan tatapan mata itu padanya, dan dia tidak bisa mengekspresikan lebih banyak hal lagi selain senyum bodoh dan canggung. Dia tak mengerti, mengapa tatapan itu begitu tajam menghunusnya. Seakan mereka pernah bertemu sebelumnya, seakan ada ikatan diantara kedua bola mata tersebut.

" Ada apa? " Nadanya dingin, terdengar ketus namun tiada amarah yang tersimpan dibaliknya. Sungguh, sulit dibaca apa yang sedang pria itu pikirkan dibalik nadanya.

Shelyf dibuat kaku dengan dua patah katanya yang tajam. Tubuhnya langsung membeku, salah tingkah tak bisa ia hindari. Matanya terus membeku pada satu titik pelenyapan itu, dan tangannya bergerak gelisah acap kala tatapan pria itu semakin menajam. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan gemetar. Ini diluar perkiraannya bahwa pergi keluar rumah dan akrab dengan keramaian akan membuatnya bertemu dengan orang-orang seperti ini.

" Nggak.....ngggak ada, maksud aku, aku gak sengaja kesini dan nyasar kesini....jadi-----" Mendengar penjelasan gadis didepannya yang terlalu terbata-bata dan sukar dimengerti, pria itu langsung memotong pembicaraan gadis manis didepannya ini dengan nadanya yang semakin sinis.

" Jadi apa? Anda tertarik sama karya saya? Jangan terlalu ribet dalam berbicara, tolong langsung ke intinya saja, apa tujuan anda kemari" ucapnya makin ketus, tatapan dan rautnya tak tersirat keramahan sama sekali. Setelah nada tajam itu terucap, pria itu kembali melanjutkan aktivitas melukisnya yang sempat terhenti, Shelyf dibuat sebal sendiri dengannya perlakuan pria itu. Apa pria itu tak bisa bersantai dengannya sedikit saja, Mengapa harus membentak, Mengapa harus menggunakan ekspresi paling menyebalkan di dunia ini saat wajahnya bahkan bisa mengekspresikan lebih banyak ekspresi baik lagi. Dia benci dibentak, dan dalam hidupnya dia harus lebih banyak bersabar dengan apa yang dibencinya. Mungkin di dunia ini, bukan hanya dia yang benci dibentak, karena seperti apapun bentuknya, dibentak pasti berakhir menyakitkan. Dia mungkin bisa menerima Aris membentaknya, tapi dia tak pernah membiarkan orang-orang baru diluar sana membentaknya dan memperlakukannya dengan cara yang tidak pantas.

" Bisakah anda gunakan bahasa yang lebih sopan? Saya kemari tak merusak apapun disini, juga tak mengganggu anda sama sekali" ketus balik Shelyf dengan sebal. Mungkin dia lelah dengan bentakan gila di dunianya, sekali-kali dia harus melawan seseorang yang selalu menganggapnya rendah. Yang seenaknya membentak dan memarahinya, bahkan ketika dia tak memiliki salah apapun. Karena sejatinya, orang yang tidak bisa menghargai orang lain harus mencicipi pedihnya tidak dihargai sekali waktu. Hidup itu tentang keberanian membela dirinya sendiri, karena jika ia terus berdiam dengan apapun yang orang perlakuan padanya maka kehidupannya tak akan pernah mendapatkan ketenangan. Diam ketika ditindas adalah sebuah kesabaran disatu sisi, tapi juga menyimpan kebodohan yang mendalam disisi lainnya. Seperti kata W. S. Rendra, Sekarang setelah aku mati baru aku menyadari bahwa ketakutan membantu penindasan. Dan sikap tidak berdaya menyuburkan ketidakadilan.

It's Better If You Don't UnderstandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang