Dua Puluh Dua

17 1 0
                                    

Hari ini Shelyf pulang dengan senyum yang tak pernah berhenti tersungging di bibirnya. Basah kuyup hampir seluruh tubuhnya yang dilapisi jaket berwarna hijau tua milik Nevan. Nevan meminjamkannya tadi, sesaat setelah mereka memilih bermain hujan-hujanan ditengah taman. Dia menikmati setiap keindahan yang waktu berikan padanya. Nevan memang tak bisa berlari seperti yang ia harapkan, dia juga tak bisa mengejar langkah kaki Shelyf dalam pelarian diantara rintik hujan yang deras tapi memilih merasakan hujan dengan Nevan yang hanya bisa diam diatas kursi roda malah membuatnya tak bisa berhenti bahagia. Dulu, dia membenci hujan. Hujan selalu membawanya ke dalam kenangan-kenangan kesendirian yang selama ini ia lewati, tapi hujan kali ini tampak lebih indah. Nevan mengajarinya bagaimana cara menikmati hujan hanya dengan membiarkan butiran-butiran air itu melewati mata dan turun menuju ke tanah lalu diserap kembali oleh akar-akar pepohonan. Mereka tadi hanya duduk kembali ditempat sebelumnya mereka menunggu hujan, bercerita tentang masa-masa indah dan khayalan semu tentang kebahagiaan yang sama-sama mereka impikan. Nevan hanya menginginkan untuk bisa hidup lebih lama bersama orang-orang yang ia sayangi, sementara Shelyf gadis itu bercerita ingin hidup damai jauh dari orang-orang yang menyakitinya bersama Amelia dan Sheryl.

Keinginan-keinginan itu hinggap dengan sendirinya, kini gadis itu memandang jaket yang mulai ikut menjadi basah ditangannya. Ini jaket Nevan, dan demi apapun itu dia menyukai aroma hujan dan uraian sisa parfum yang masih tertinggal dan terserap didalam jaket tersebut. Dia menciumnya lamat-lamat tak peduli dengan kemungkinan bahwa hal itu akan membuatnya terserang demam.

Setelahnya, dirinya lebih memilih menghabiskan sisa sore ini untuk berendam air hangat kemudian berangkat bekerja di sore hari seperti biasa.

Shelyf mematut dirinya didepan cermin, dia menyisir rambutnya yang tak terlalu panjang kemudian mengambil tas selempang kecil diatas nakas dan berjalan menuruni tangga. Sejak Mbok Sami memutuskan untuk berhenti bekerja, Shelyf merasa rasa masakan di rumah ini tak lagi sama. Mbok Sami selalu memberikan banyak rempah-rempah didalam masakannya dan selalu memastikan bahwa makanannya telah matang dengan sempurna. Shelyf merindukan tangan wanita tua itu meracik bumbu didapurnya. Dia merindukan rasa kuah Rendang buatannya yang khas, karena kini orang-orang yang menggantikan Mbok Sami cenderung tak mau repot dan menggunakan bumbu jadi daripada meraciknya dengan tangan sendiri. Rasa masakan di rumah ini tak lagi sama, semuanya tak lagi sama dan dia paham akan hal itu.

Saat sampai di ruang keluarga, matanya menatap Sheryl yang sedang mengintip sesuatu dibalik dinding. Jemari tangan gadis kecil itu bertumpu pada dinding didepannya, setengah tubuhnya bersembunyi dibalik tebalnya dinding. Tubuhnya seolah bergetar, air mata sudah luruh diwajahnya yang tenang disusul oleh isakan-isakan kecil yang menyakitkan. Shelyf segera menghampiri gadis itu dan ia ikut terperangah melihat apa yang menjadi titik fokus Sheryl.

Disana ada Ina yang kemarin Sheryl ceritakan hadirnya, ada juga Nadia dengan Aris yang tampak menjadi penengah antara Ina dan Nadia. Wajah mereka tampak pias oleh kemarahan, terutama wajah Nadia yang kini sudah menangis tersedu-sedu dihadapan Aris. Shelyf sekali melihat Nadia saat wanita itu dicium Aris kala malam menenggelamkan dirinya dalam kelam tak berkesudahan. Dan Ina, sepertinya baru kemarin wanita itu Sheryl ceritakan sosoknya. Yang jelas, dua wanita itu sama-sama Shelyf tak harapkan hadirnya dalam hidupnya.

" Kamu milih wanita ini daripada aku? Kamu memang bajingan!" Nadia berteriak sembari berusaha meraih tubuh Ina untuk ia pukul. Semuanya tampak tidak baik-baik saja kini, bahkan menjadi Nadia yang pernah Aris puja, wanita itu tetap saja mendapatkan penghianatan dari prianya. Aris berusaha melerai pertengkaran antara dua wanita itu. Kedua wanita itu sama-sama saling menatap tajam dan Shelyf hanya melihat sekilas apa yang mereka perdebatkan. Jika bukan karena Aris memiliki cukup uang dan harta, maka dua wanita itu tak akan rela saling berseteru menjatuhkan kodratnya sendiri sebagai wanita hanya demi pria yang telah memilik seorang istri dan dua orang anak yang mulai tumbuh dewasa. Sahutan-sahutan dari suara itu sangat terdengar mengganggu di indra pendengaran Shelyf. Air matanya enggan luruh, dirinya telah lelah dengan kesedihan-kesedihan yang tak berkesudahan itu. Perlahan, tangannya yang semakin hari semakin kurus itu meraih tubuh Sheryl dalam pelukannya. Adik kecilnya itu kemudian terisak semakin keras diantara pelukan itu.

It's Better If You Don't UnderstandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang