Tiga Puluh

16 1 0
                                    

Shelyf membuka matanya, kemudian dirinya cukup tersentak karena tidak menemukan Sheryl dipelukannya lagi. Dia menoleh dan menatap nakas yang menampilkan jam alarm kecilnya yang menunjukkan pukul lima seperempat.

Dia masih memiliki waktu untuk shalat, mandi lalu bersiap pergi berangkat ke sekolah. Semuanya berjalan dengan semestinya, sesuai rencana kegiatan yang sejak pertama kali matanya terbuka pada pagi hari untuk ia lakukan. Saat dirinya menyisir rambut, handphonenya berbunyi menampilkan salah satu lambang aplikasi chatting yang di dalamnya terdapat pemberitahuan jikalau dirinya telah menerima pesan baru. Shelyf menggeser layar ponselnya dan langsung menemukan sebuah pesan dari Nevan yang mengatakan bahwa pria itu akan menjemputnya.

Gelanyar aneh dalam dirinya menyeruak, seperti sesuatu yang menyenangkan segera hadir dalam dirinya. Gadis itu kini telah berani mengikat rambutnya tinggi-tinggi karena lebam yang ada disekujur lehernya telah hilang bekasnya. Semuanya tampak lebih damai kini, Aris jarang pulang ke rumah hingga ia bisa merasakan sedikit kedamaian bersama dengan orang-orang yang ia sayangi. Shelyf melangkah sembari menengok sekilas dari atas balkon rumahnya, dapat ia lihat sebuah mobil Vios hitam yang terparkir dengan baik di depan rumahnya.

Kakinya kemudian dengan cepat menyusuri tangga agar segera sampai ke depan gerbang rumahnya. Dia bahkan mengabaikan keberadaan Amelia di dapur karena berusaha memacu langkahnya dengan cepat.

" Tumben rambut lo di kuncir" Saat gadis itu memasuki mobil, Nevan menemukan sebuah kejanggalan yang signifikan dari gaya sehari-hari Shelyf biasanya. Jika menurut hari-hari yang telah berlalu Shelyf lebih memilih untuk menggerai rambut pendeknya, kini gadis itu seolah memilih menguncir surai hitamnya yang tebal, seolah menemukan kenyamanan dari gugusan rambut yang disatukan dan diangkat tinggi menggunakan kuncir.

" Iya...panas kalau di gerai terus" jawabnya singkat lalu mobil segera melaju dengan kecepatan sedang.

Mobil hitam itu membelah kerumunan kendaraan yang tumpah ruah di jalanan ibukota Jakarta pagi hari. Shelyf menatap Nevan yang masih terpaku pada jalanan di depannya. Sebuah tanya darinya kemudian mengawali pembicaraan pagi ini. Walau tidak bertemankan secangkir kopi hitam dan sepiring biskuit manis, tapi pembicaraan keduanya pagi ini berjalan dengan baik dan lancar.

" Lo tumben mau nganterin gue?" Shelyf menyuarakan isi hatinya. Pertanyaan itu memang lamat-lamat ia tahan saat pertama kali menerima pesan dari Nevan yang isinya adalah sebuah janji dari pria itu untuk mengantarkannya ke sekolah dan akhirnya dikatakannya juga rasa penasaran itu dalam sebentuk pertanyaan yang menerbitkan seulas senyuman dari bibir Nevan.

" Tumben?" Nevan seolah menggarisbawahi sebuah kata yang tadi sempat Shelyf utarakan. Dan dengan senyum yang tetap ada di wajahnya dirinya menambahkan. " Emang gue pernah nolak buat nganterin lo? Lagian lo suka banget sih sendirian naik angkutan umum"

" Ya seru aja, menurut gue sih. Setiap hari bertemu dengan orang-orang baru dengan macam-macam karakteristik itu lucu"

" Bukannya lo gak suka keramaian ya?"

Shelyf menoleh menemukan sesuatu yang aneh kembali, darimana pria itu tahu bahwa dirinya kurang merasa nyaman saat berada di keramaian. Bukankah dirinya tidak pernah menceritakan kepada siapapun bahwa dia membenci hadir ditengah kerumunan dari gugusan bising suara manusia. " Darimana lo tahu kalau gue gak suka keramaian?"

Nevan menyambung pertanyaan Shelyf dengan gelak tawa ringan, ditatapnya balik wajah yang kini menyiratkan sebuah tanya disampingnya kini.
" Lo aja gak suka musik, padahal musik itu kekasih semua orang, apalagi keramaian? Lagian lo kelihatan banget kok kalau gak suka sesuatu yang ramai-ramai"

Shelyf hanya tersenyum canggung, dia tidak menyadari bahwa ketidaksukaannya terhadap keramaian akan begitu jelas terlihat dari sudut pandang orang lain.

It's Better If You Don't UnderstandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang