Dua Puluh Tiga

16 1 0
                                    

Pukul 21.00

Langit malam begitu pekat membungkus ramainya kota Jakarta. Mendung dan hujan kala Oktober itu tak lagi terdengar rintiknya maupun terasa dinginnya. Ini memang bukan urusan atau kuasanya, tapi sejujurnya ia merasa sedikit penasaran dengan apa yang terjadi antara pria tadi dan Jo. Pertanyaan mengapa keramahan Jo bisa hilang dalam sekejap saat matanya bertemu dengan pria paruh baya itu terus menggelayuti pikirannya. Sedari tadi, ia hanya melamun bahkan saat langkah kakinya mengantarkan pesanan pikirannya tak berhenti untuk ingin mencampuri urusan Jo. Padahal ini bukan dirinya, bukan Shelyf yang selalu ingin mengetahui apa yang terjadi pada orang-orang. Tapi, entah mengapa Jo itu urusannya beda. Jo yang ia kenal sama seperti Kakaknya yang telah begitu peduli padanya.

Gadis itu masih berdiam diri diatas kursi di dekat Barista dengan pikirannya yang tak karuan arahnya.

" Ngelamun..." Jo datang menghampirinya.
" Gue kenal sama lo udah berapa ya? Seminggu, dua Minggu? " Entah ada angin darimana, Jo bertanya tentang lama perkenalan yang terjadi antara keduanya.

" Dua minggu " jawab Shelyf cepat saat Jo masih bersikeras dengan pikirannya yang selalu mengira-ngira.

" Gue boleh cerita gak sama lo? Ya...nggak seharusnya sih, soalnya kita baru ketemu juga gak lama"

" Yaudah cerita aja...." Shelyf menatap manik mata Jo yang mulai sedikit menajam, dia sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu yang seolah gamang diangannya. Shelyf memainkan ujung jemarinya yang memiliki kuku polos, dia tidak sabar mendengarkan cerita dari Jo, sedikit harapnya bahwa cerita itu adalah berkaitan dengan pria berahang tegas yang tadi sempat menghampiri mereka.

" Alkisah....." Jo mengawali cerita dengan raut serius, tapi sedetik kemudian gelak tawa keluar dari bibirnya. Ada nada-nada bahagia didalam setiap intonasi tawanya yang merdu, dan Shelyf seketika itu mengernyitkan alis dan mengerucutkan bibir tipisnya. Dan, diam-diam dia juga sadar bahwa Jo tak sedang baik-baik saja. Ada satu kisah, dulu ia pernah dengar dari Guru SD-nya saat ia mengenyam pendidikan kelas 3 SD. Waktu itu pelajaran IPS, yang selain membahas Banjir pada masanya juga membahas perilaku orang-orang disekitarnya. Guru Shelyf bilang bahwa ketika seseorang tak terlihat seperti biasa, mungkin ada satu masalah dalam hidupnya. Ketika seseorang yang kadang diam seribu bahasa lalu berbicara sepuluh ribu bahasa tanpa henti, mungkin hatinya sedang bermasalah. Atau seseorang yang se-diam batu lalu bisa selincah Kangguru, bisa jadi orang itu sedang bergulat dengan perasaannya yang kian tak tahu ujungnya. Barangkali ada masalah yang sukar ia pecahkan. Dan Shelyf tahu bahwa Jo yang kadang bisa sebijaksana itu kini menjadi sosok yang mengatakan candaan garing seperti Dika sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, mungkin kehadiran pria berwibawa tadi membuat jiwa pria ini tak tentu, mungkin dia sedih tapi tak tahu harus darimana ia katakan sedihnya itu.

" Kak? " Nada gadis itu terdengar serius, matanya menajam seolah mengintimidasi Jo yang sedang berusaha menyembunyikan kebohongannya. Jo masih terdiam, tawanya telah gugur sejak beberapa detik lalu. Mata Jo seolah ikut menajam, padahal ia hanya ingin menuli dengan kenyataan yang telah menamparnya. " Kakak gak baik-baik aja, kan?" Pertanyaan Shelyf itu membuat Jo seketika terhenyak, ditatapnya manik mata gadis itu dengan serius. Entah ada hasrat darimana, tapi aura gadis itu seolah memikat lalu mengikat dirinya untuk jatuh dan menumpahkan apapun yang telah menimpanya. Padahal dia belum mengenal Shelyf lama, dan hubungan mereka hanya sebatas rekan kerja.

" Lo mau denger cerita gue beneran? " Jo seolah bertanya dengan nada seriusnya dan mencoba meyakinkan dirinya sendiri dengan jawaban yang akan Shelyf berikan, dan pertanyaan yang seolah menjadi pembuka itu membuat kepala Shelyf mengangguk dua kali dengan antusias. " Tapi, jangan di sela ya kalau gue lagi cerita" dan Shelyf mengangguk kembali mendengarkan peraturan yang Jo berikan. Gadis itu menajamkan telinganya dan mempersiapkan pikirannya sejeli mungkin untuk menyerap setiap hal yang pria itu hadirkan lewat kata-katanya. Sejenak, Jo memastikan malam telah membungkus kota dan sepi mulai berkuasa. Dengan dingin di udara yang mengambang, lalu diliriknya para teman-temannya yang masih asik bergulat bersama Smartphone masing-masing membuat dirinya merasa leluasa mengutarakan apa yang ia rasakan selama beberapa tahun.

It's Better If You Don't UnderstandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang