3

10.2K 790 5
                                    

Denting sendok bersahutan menemani kesunyian makan malam kami. Iya.. Mas Abi datang habis maghrib dengan membawa dua bungkus nasi goreng. Sebenarnya aku sudah makan, namun karena menghargai nya aku ikut makan lagi. Sekali-kali makan double sepertinya tidak masalah.

"Kamu ngajar tadi?" mas Abi sudah selesai makan. Sedangkan aku baru tiga kunyah.

"Iya mas." aku melanjutkan aksi makanku.

"Pulang jam berapa?"

Hah....

" Jam 2," jawabku kikuk. Gimana ngga kikuk ini pertama kalinya dia tanya tanya dalan kurun waktu satu bulan. Dua minggu kemarin saja ngga ada kabar apa-apa sampai aku nyaris lupa kalau aku sudah punya suami.

Hadehh

"Boleh buatkan aku kopi? ".

Mampus! Mana ada kopi dirumah. Aku bahkan tidak pernah menyentuh minuman satu itu.

" Em, itu Mas."  aish kenapa susah banget sih.  Tinggal ngomong nggak ada.

Kulihat mas Abi mengernyitkan dahinya. 

"Ngga ada kopi Mas. Teh mau?" nah begini kan enak.  Dari tadi kok gimana gitu, mau ngomong saja susah.

Mas Abi menatapku tanpa ekspresi.  Namun tak lama dia mengangguk.

Kuletakkan teh pengganti kopinya di meja. Aku duduk di seberangnya.
Mas Abi sedang mengutak-atik ponselnya.  Aku fokus ke layar televisi.

Hampir lima belas menit kami diam. Kulirik jam hampir pukul sembilan. Mas Abi masih santai dengan ponselnya. Apa ngga ada rencana pulang mas Abi? Batinku. 
Mau nanya,  berasa ngusir. Ngga di tanya aku yang kelimpungan. Gimana dong?

"Mas besok ngga kerja?" mas Abi menatapku agak lama. Aku memilin ujung jilbab maroon yang kukenakan malam ini. Kok canggung ya?

"Kerja." dia kembali melihat ponselnya. "Kenapa?"

"Nggak."

"Aku nginap." mas Abi bangun melangkah ke dapur.  Dia meletakkan gelas bekas minumannya di meja makan. kemudian berdiri di sisi sofa.

"Besok pulang jam berapa? ".

Aku melongo.  Mas Abi melihatku secara intens.  Namun tidak ada ekspresi apapun. 

"Kalau ngga ada kegiatan lain, jam 2." aku melihat mas Abi kembai duduk di tempat semula. 

"Besok ibu mau ketemu."

What  ????  Kabar seperti ini santai banget dia ngucapinnya.  Aku yang terlonjak kaget. Apa-apaan ini. 

"Ngga terlalu cepat, Mas?" aku berusaha negosiasi dengan nya. Ya Tuhan, aku bahkan belum siap untuk ketemu keluarganya.

"Sudah satu bulan."

Iya aku tau.  Tapi seenggaknya bisa kan minggu depan atau satu bulan lagi. 

"Aku takut," cicitku.

"Kenapa ngga dari dulu?" ah.... Parah ini jawabannya

"Em.... Mas...kan tau sendiri situasinya," ucap ku gugup

Mas Abi diam.  Kulihat dia menelpon seseorang.  Bisa kudengar ini menyangkut pekerjaannya.

Mas Abi menoleh kearahku.  "Besok aku jemput dikampus."

Aku mengerjapkan mata. Negosiasi gagal.

Mas Abi masuk kekamar tamu meninggalkan ku yang masih melongo.

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang