13

6.9K 697 14
                                    

Ada saatnya keteguhan hati goyah memporak porandakan tebing yang sudah dibangun dengan kokoh.

Begitupun hati.

Aku yang dulu mempunyai prinsip memiliki apa yang harus kumiliki malah terhempas dengan takdir yang kujalani sekarang.

Melihat Mas Abi tidur terlelap di sampingku membuncah rasa di hatiku.
Aku senang karena suamiku ada disisiku saat ini, namun juga kecewa karena Aku dia ada disini yang seharusnya sekarang bersama Istri dan anak-anaknya.

Terluka, pasti!

Tapi ini resiko yang harus kujalani.

"Mas, subuhan dulu," Aku menggoyangkan lengan Mas Abi.

Mas Abi bergumam.

"Mas."

Mas Abi bangun dan mengumpulkan kesadarannya sebelum melangkah ke kamar mandi.

Aku keluar dan membantu Ibu menyiapkan sarapan.

Ibu sedang menggoreng telur dadar sedang Aku membuat secangkir kopi untuk Mas Abi.

"Jadi pulang?"

"Jadi bu."

"Bu," Panggilku.

Ibu menoleh sekilas.

"Mba Farah mau ketemu."

Ibu menaruh telur dadar di piring sembari melangkah ke meja makan.

"Bicara baik-baik," Kata Ibu. Aku diam menunggu kelanjutannya.

Ibu menarik tanganku dan duduk berhadapan.

"Ibu berdoa, semoga pertemuan kalian nanti baik, walaupun tidak bisa kita pungkiri kemungkinan Istri pertamanya Abi murka." Ibu menghela nafas berat.

"Apapun yang dikatakan Farah nanti kamu cukup diam, kalau dia minta kamu pergi, maka pergilah sebelum kalian semakin terluka."

Tidak terasa air mataku menetes.

Ada sedikit rasa sesak.

"Kamu yang memulainya, jadi Ibu minta kamu bisa menyelesaikan secara baik-baik."

Kini bukan lagi setetes, gumpalan yang mengapung tadi merembes kepermukaan wajahku.

Aku harus kuat.

Aku harus membuang rasa yang mulai tumbuh di hatiku.

"Sudah, panggil Abi sarapan." Ibu melepaskan tangannya.

Baru mau masuk ke kamar, Mas Abi keluar.

Kutatap wajah Suamiku.

Lelaki tanpa ekspresi. Lelaki yang membuatku meminta hal gila kepadanya yang dituruti tanpa syarat apapun.

Dia yang sudah membuat hatiku kembali berbunga setelah kabut pekat.

Dia.. Ayah dari Anakku.

Mas Abi mendekat. "Nangis?"

Hah.

Perasaan nggak, namun tanganku terulur mengusap air yang mengalir disana.

Tapi Aku tidak menangis.

Ah.. Bodo!

"Sarapan dulu mas," Kataku dan langsung berbalik.

Setelah sarapan, kami berpamitan pada Ibu.

Ibu memelukku. "Kalau ada apa-apa kabarin Ibu."

Aku mengangguk.

Ibu beralih ke Mas Abi. "Ibu titip Risa, Nak."

"Baik Bu."

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang