19

5.2K 426 16
                                    

FLASHBACK.

Akhir semester membuat kami mahasiswi yang disibukkan Skripsi tunggang langgang mencari dana demi kelangsungan skripsi kami.

Aku, Resti, dan Vina.

Kami berasal dari keluarga biasa-biasa saja, namun sejek semester empat kami bertiga sepakat tidak bergantung lagi pada orang tua dan mencari pekerjaan paruh waktu.

Pacarku Irfan, terkadang juga membayar SPP ku walau berulang kali Aku tolak, namun Mas Irfan selalu membawa nama Tante Elma yang tak lain adalah Ibunya yang tentu tidak bisa Aku tolak.

"Ris, Mas Dion punya kenalan orang Bank,"
Resti meletakkan tiga gelas teh dingin pesanan kami.

Aku mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa? Kamu mau buka rekening lagi?"

Resti menggeleng. "Pinjaman."

Vina yang sedari tadi diam ikut mengeluarkan suara. "Ada yang mau ngasih pinjaman ke mahasiswi?"

Aku mengangguk membenarkan pertanyaan Vina.

"Itulah gunanya Mas Dion disaat seperti ini."

Dion pacar yang entah keberapa Resti memang sering membantu kami.

"Setau gue kalau pinjaman BANK harus ada jaminan, Nah lo, apa yg mau lo jadiin jaminan?" Vina menimpali.

"Bukan gue, tapi kita."

"Ogah ah, Aku nggak ikutan." Sahutku.

Mereka melihatku dengan horor.

"Bukankah dulu Lo oke aja sama rencana kita?"

"Iya, kalau rencana lain, kalau berurusan dengan Bank Aku angkat tangan."

"Kenapa?" Tanya mereka bersamaan.

Aku menatap mereka bergantian.

"Pokoknya, Aku nggak mau."

Aku meninggalkan mereka di kantin.

Tidak mungkin menjelaskan kepada mereka perihal riba, terlebih kedua sahabatku itu tidak begitu paham masalah agama.

Tapi bukan Resti dan Vina namanya kalau mereka tidak berhasil membujukku dan berakhir menyeretku ke sebuah Caffe.

Kami berangkat menggunakan mobil Vina, karena diantara kami bertiga baru Vina yang mempunyai mobil.

"Sudah lama Mas?"
Resti mencium pipi pacarnya.

Vina yang memang sudah jomblo dari awal masuk kuliah memutar bola mata melihat aksi Resti.

"Baru saja," Mas Dion menggeser kursi rotan yang didudukinya.

"Oya, kenalkan, Ini Pak Abi Laksamana, pegawai Bank centra,"

Kami menatap lelaki yang ada di samping Mas Dion kemudian berjabat tangan.

Pak Abi menatapku intens, sampai Mas Dion berdeham.

Mungkin Pak Abi bingung, karena diantara kami bertiga, hanya Aku yang berjilbab.

"Apa yang bisa saya bantu?" Pak Abi mulai berbicara.

Kami bertiga saling melirik, seakan melempar jatah kepada siapapun yang ingin bicara.

Hingga lima menit tidak ada yang mengeluarkan suara, Mas Dion mewakili.

"Begini Mas, mereka lagi dikejar dosbim Skripsi, jadi macet Di biaya."

Bukan macet Mas Dion, tapi memang nggak ada, batinku.

"Hm...." Pak Abi melihat kami satu persatu.

Mungkin lagi menduga-duga, kalau dikasih bakal bayar pakai apa mereka.

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang