23

4.2K 436 10
                                    

Pertemuanku dengan Mba Farah tidak menemukan titik terang, malah masalah yang menjadi pemicu hambarnya rumah tangga Mas Abi Akulah penyebabnya, menurut Mba Farah.

Tapi setidaknya, Aku sudah tau sikap Mba Farah dan itu sesuai dengan cerita Mas Abi.

Keras kepala dan prinsip yang di anut Mba Farah, menurutku sama sekali tidak akan membantu permasalahan rumah tangganya.

Entahlah.

Aku sendiri pusing.

Mas Abi yang setiap hari chatt minta rujuk.

Adiba yang menelepon terus menerus ingin bertemu.

Aku jadi serba salah.

Mengingat Adiba, hatiku tersentil.

Apa Aku egois? Setidaknya Aku bertemu dengannya, menyampingkan masalah dengan papanya.

Aku benar-benar frustasi.

(Mas Abi)

Mas rindu, Ris.

Mas Abi kembali mengirimiku pesan.

Aku hanya membacanya.

Tidak berniat membalas.

Aku juga rindu Mas.

Kabut di mataku menebal saat pesan Mas Abi masuk lagi.

(Mas Abi)

Mas harus bagaimana, Ris?

Akhirnya kabut itu pecah menjadi aliran bening yang membasahi pipiku.

Aku juga rindu, Mas.

Aku juga tidak tau, rintihku.

"Ris, makan dulu." Ibu mengetuk pintu kamarku.

"Iya bu, nanti Risa turun."

Aku mengusap mataku, mengipas dengan tanganku, berharap ibu tidak tau.

Akhir-akhir ini, Ibu sering memperhatikanku, tak jarang beliau bertanya bila melihat ada yang lain dengan keadaanku.

"Mas Abi?"

Aku terkejut, melihat Mas Abi di meja makan bersama dengan ibu seolah sedang menungguku.

Berarti, tadi waktu dia chatt, dia sudah ada di sini?

Mas Abi hanya menatapku datar.

Aku sedikit kikuk dan duduk di samping ibu yang otomatis berhadapan dengannya.

"Ris, ambilkan nasi untuk Abi," Ibu menegurku yang masih diam.

Aku menuruti perintah Ibu.

Kami makan dalam diam.

Sesekali Aku lirik Mas Abi yang makan dengan tenang. Sedangkan Aku tidak sedikitpun menyentuh makananku.

Mas Abi yang mengenakan kemeja warna favorit nya, navy, terlihat tampan,

tidak sesuai dengan usianya.

Wibawanya yang kadang membuatku kagum dengan sosoknya.

"Jangan lihat Aku terus, makan."

Hah.

Dia tau Aku melihatnya?

Aku menyendok makananku dengan pelan, selera makanku hilang.

Tadi dia buat Aku mewek.

Sekarang, malah makan dengan tenang?

"Ibu tinggal, bicaralah baik-baik."

"Bu," panggilku.

Ibu mengangguk, seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Ibu meninggalkan kami di ruang makan.

Kami terdiam cukup lama. suasana canggung meliputi perasaanku saat ini, padahal saat sebelum bertemu Mba Farah Aku juga ketemu dengan Mas Abi, tapi tidak canggung begini.

Apa karena sudah lama kami tidak bertemu, dan komunikasi kami buruk selama ini?

Tepatnya komunikasi ku, bukan Mas Abi, karena dia selalu mengabariku.

Aku tidak berani melihatnya, sejak tadi tertangkap basah.

"Kenapa kamu menghindar, Ris?"

Aku yang ditanya tiba-tiba melongo.

"Dengan menghindar, masalah tidak akan selesai."

Aku masih diam.

"Kamu bahkan tidak mengangkat teleponku, chatt cuma kamu baca, apa kamu berharap Aku menyusulmu?"

Aku mendongak.

"Dan sekarang, Aku sudah di sini. Kamu masih mau diam?"

"Maaf," ucapku lirih.

Mas Abi menghela nafas lelah.

"Sekarang, setelah bertemu dengan Farah, apa keputusanmu?" Mas Abi bersedekap sambil bersandar di kursi.

"Maaf__"

"Bukan itu yang ingin Aku dengar," Selanya.

Aku melipat bibirku.

"Katakan, apa yang kamu mau,"

"Apa Aku harus bersujud di kakimu dulu, agar kau mau bicara?"

Pertahanan yang sedari tadi Aku jaga, hancur.

Air mataku mengalir begitu saja.

Hatiku sesak, mendengar perkataan Mas Abi.

"Apa yang sebenarnya Mas inginkan?" Akhirnya suara yang tadi kutahan, keluar.

"Masih kurang jelas?" Mas Abi menatapku tajam.

"Aku ingin kembali padamu, Farisya." Mas Abi menekan namaku di ujung kalimatnya.

"Cukup dua minggu kamu menghindar, sekarang Aku sudah mengatakan keinginanku, bagaimana denganmu?"

Aku meremat tanganku di bawah meja.

Keinginanku sama sepertimu, Mas.

Tapi Aku takut.

Keputusan yang Aku ambil, kembali menoreh luka.

"Mas," panggilku pekan

Mas Abi menapku. Tatapannya sama sekali tak bisa ku artikan.

"Aku__" Suaraku tercekat saat Mas Abi mengungkungku dari belakang.

"Katakan," tangan Mas Abi melepaskan tanganku yang bertaut di bawah.

Bagaimana Aku bicara Mas, kalau posisi kita seperti ini.

"Bicaralah Ris," Deru nafasnya bisa kurasakan di sekitar leher belakangku.

Aku menegang.

"Mas, rindu. Mas mau kembali padamu, kamu mau?"

Ya Allah....

Aku juga merindukannya.

Apa ini salah?

Aku kembali menangis, saat Mas Abi menyisipkan jarinya di sela jari-jariku.

Dadaku sesak, ini terlalu berat untukku.

Aku mengagguk pelan.

Mas Abi mengecup ubun-ubunku.

"Terimakasih," Mas Abi memelukku dari belakang.

Ya Allah....semoga keputusanku ini benar.

........

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang