Baru saja kulangkahkan kaki ku di ruangan kantor, seseorang menepuk pundakku, Ku toleh ternyata Dewi. Dia nyengir sambil kedip kedip, kenapa aneh ini anak satu perasaan ngga pernah lihat tingkahnya seperti ini.
"Nona farisya." Dewi mengulum senyum nya. "Noh, di depan ada yang nyari."
"Siapa?"
Dewi Megendikkan bahu
Aku membereskan HVS yang ada dimeja kerjaku dan meninggalkan Dewi.
"Duluan."
Dewi menarik lenganku saat aku beranjak membuka pintu ruangan. Padahal aku buru-buru banget karena aku yakin pasti mas Abi.
" Siapa Sya?" ah, Dewi kepo.
Aku memang belum cerita ke siapapun statusku saat ini. Sekalipun itu Dewi temanku. Aku belum siap saja sama sepertiku belum siap ketemu keluarganya.
" Ada deh. " aku berusaha lari dari pertanyaan Dewi yang kuyakin tidak akan ada ujungnya.
Kulihat mas Abi bersandar di pintu mobil. Dia membelakangiku jadi tidak tau keberadaanku.
" Ehm."
Mas abi menoleh mendengar suaraku sembari mengernyitkan keningnya.
"Sudah selesai?"
"Sudah mas." kulihat mas abi membuka pintu mobinya akupun bergegas menyusul.
Perjalanan kami hanya diselingi suara penyiar radio. Tidak ada percakapan apapun diantara kami selama hampir setengah jam sehingga akulah yang pertama kali mengawalinya.
" lMas."
Mas Abi menoleh sebentar sebelum fokus kembali ke jalan. Nggak ada sahutan. Cuma engsel leher nya aja yang diputar.
"Mas cerita apa saja ke ibu?"
"Maksudnya tentang pernikahan kita," lanjutku masih melihat kearahnya.
" Oh." mas Abi bergumam. Aku melihat mas Abi sedikit mengernyitkan keningnya. Tidak lama dia melanjutkan, "hanya alasan kenapa kita menikah."
"Cuma itu?" kok kesannya aku nggak percaya ya?
Mas Abi mengangguk samar.
"Nggak usah nervous, biasa aja".
What ?? Sepertinya besok aku harus sering yoga biar pikiranku kalau dengar yang ekstrim kayak gini nggak terlalu syok.
Biasa aja dari mana?
Secara Aku ini menikah dengan seorang lelaki yang sudah punya istri. Bahkan cucu mungkin. Secara umurnya tidak terbilang muda. Empat puluh enam tahun mbok. Tapi wajah nya bohong, karena ngga menunjukkan angka tersebut.
Aish.... Apa barusan aku memujinya?
Lebih baik diam. Lihat saja apa yang terjadi disana. Dan aku yakin peristiwa apapun yang terjadi nanti aku sama sekali nggak siap.
Oh Tuhan, aku harus bagaimana? Haruskah aku buka pintu mobil dan melompat keluar? Lupakan. Ini bukan drama action. Yang pasti sebentar lagi aku akan menghadapi kenyataan yang akan mengawali kisahku.
Hampir satu jam perjalanan, Mobil mas Abi memasuki sebuah pekarangan.
Mungkin ini rumahnya, batinku.
Mas Abi keluar dari mobilnya aku segera mengikutinya. Kusejajarkan langkah dengan nya.
Deg
Aku merasa ada sengatan listrik di aliran darah ku. Panas dingin semacam... Ah entahlah. Akupun bingung mengatakannya.