25

4.5K 455 16
                                    

Hujan sudah mengguyur kota ini selama satu minggu, Padahal ini bukan musim penghujan.

Melihat satu sisir pisang yang dibawakan ibu kemarin sepertinya enak di bikin gorengan dicuaca seperti ini.

"Bikin apa? Aku lapar," Alya berdiri di belakangku.

"Mama bikin pisang goreng, mau?"

"Hm,"

Aku mengambil piring saji dan meletakkan pisang goreng yang sudah kutiriskan.

Alya menyantapnya dengan lahap.

Sepertinya benar dia lapar, padahal tadi sudah sarapan dan sekarang baru pukul sembilan.

"Masuk jam berapa hari ini?"

Alya menoleh. "Jam dua."

"Tapi agak males," Sambungnya.

"Kenapa?" Aku sudah menyelesaikan aktivitas menggoreng.

"Patologi kebidanan, Bu marlina. Judes banget."

Aku mengulum senyum, Bu Marlina memang dikenal dengan dosen tegas dan pelit nilai.

Sebenarnya itu mata kuliahku, tapi berhubung Aku sudah resign, maka dialihkan ke rekanku bu Marlina.

"Sebenarnya, bu Marlina baik, tergantung mahasiswa nya aja." Ujarku.

"Baik gimana, kita sudah kuliah eh masih ketemu dosen model guru SMP yang kemana-mana bawa kayu panjang."

Aku menahan tawa mendengar keluhan Alya.

"Mana tiap matkulnya, harus bisa menghafal seratus istilah yang ada di kamus itu, kalau nggak bisa beneran deh kayunya itu melayang."

Kini Aku tertawa.

Benar-benar tertawa melihat ekspresi kesal Alya.

Padahal belum tentu bu Marlina melakukan seperti apa yang ditakutkan Alya.

"Kok ketawa?"

Aku menggeleng.

"Tapi, selama ini kamu bisa menghafalnya kan?" Tanyaku disela tawa.

"Iyalah, mana tahan Aku lihat kayu yang selalu di tentengnya itu."

"Istilah itu disuruh hafal, biar kalian tau saat praktek dan seminar, kalau sudah biasa nanti akan jadi makanan sehari-hari kalian." Aku Menjelaskan.

Alya menatapku bingung.

"Kalau kamu kurang paham matkul patologi, bisa kok nanya ke Mama. Kamu nggak lupakan, itu matkul Mama."

"bo..leh?" tanyanya ragu.

"Boleh dong," Aku mengambil pisang goreng yang tersisa di piringnya.

"Makasih, Aku mandi dulu, mau siap-siap." Katanya.

"Siip," Aku mengacungkan jempol ku.

Dan dibalas senyum Alya, yang tidak pernah Aku lihat selama Aku menikah dengan Papanya.

Alhamdulillah, sepertinya anak Mas Abi baik semua, tergantung Akunya yang harus pandai membawa diri.

Sebenarnya, Alya enak juga di ajak ngobrol, cepat nyambung.

Senyumku tak pudar bahkan sampai terbawa saat Aku mau sholat dhuhur.

"Ma, Aku berangkat dulu." Alya mengambil tangan kananku dan menciumnya.

Aku sempat terharu.

Aku tidak mambayangkan bisa secepat ini perubahan sikapnya, yang bahkan belum dua puluh empat jam setelah kami berbicara tadi.

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang