Aku bukanlah wanita yang taat, Aku juga bukan wanita sholehah jika kalian mengukur dari hijabku.
Aku hanya seorang wanita akhir zaman yang sedang mencari jati diri dan belajar menjadi sosok wanita yang baik.
Menjadi yang kedua, tak pelak mendapat gunjingan orang-orang.
Apalagi, Istri pertama yang sama sekali tidak menerima kehadiranku, pun Ibu mertuaku.
Saat Aku mengambil keputusan untuk hidupku, Aku sama sekali tidak melibatkan orang lain.
Bagiku, sekarang yang penting Aku tidak lagi menjadi duri dalam kehidupan mereka, Aku ingin hidup sendiri.
Dan di sinilah Aku, di sebuah Desa terpencil, tinggal di sebuah rumah tua yang Pernah ditinggali Nenekku.
Setelah menginap di Apartemen Dewi, Aku mengunjungi Ibu dan menyampaikan niatku yang ingin hidup sendiri tanpa mengganggu hubungan Mas Abi dan Mba Farah.
Awalnya Ibu marah, tentu.
Karena bagaimanapun Aku masih berstatus sebagai Istri, jadi kemanapun Aku pergi harus atas izin Suami.
Tapi, setelah Aku menjelaskan perihal rumah tanggaku, Ibu mengerti dan menyerahkan keputusannya kepadaku.
Syukur selalu ku panjatkan pada Tuhan, selama kehamilanku yang kedua ini yang sudah masuk delapan bulan Aku tidak mengidam yang aneh-aneh.
Hidup sendiri tidak jadi masalah buatku, karena semenjak kuliah Aku sudah mandiri.
Di desa ini Aku mengabdi di sekolah dasar, melihat anak-anak di desa ini membuatku mengulurkan tangan ikut membantu.
Tak apa, dari seorang dosen menjadi guru SD, yang penting pekerjaan ini mulia.
Mendidik generasi masa depan untuk kebaikan agama dan bangsa.
Alhamdulillah, dengan gaji delapan ratus Kebutuhanku tercukupi.
"Bu Risa, Ini ada tamu dari Kabupaten mau bertemu."
Nisa, salah satu gadis di desa ini yang sering membantuku di rumah.
Aku melihatnya. "Suruh masuk saja Nisa."
"Baik, bu."
Dua orang laki-laki dan satu perempuan dari Dinas sepertinya.
Aku menyalami mereka.
"Silahkan duduk, bapak, ibu." Kataku.
Karena penasaran dengan kedatangan orang-orang berseragam ini Aku menayakan maksud kedatangan mereka.
"Mohon maaf, apa kedatangan bapak dan ibu ke sini ada yang bisa saya bantu?"
"Begini bu Risa, " Salah satu dari mereka yang menjawab.
"sebelumnya, perkenalkan, saya Ridwan, ini bapak hendra dan ibu Cyntia. Kami dari kantor dinas pendidikan."
Aku mengangguk sambil melihat mereka satu-persatu.
"Kedatangan kami ke sini, ada sedikit bantuan untuk Sekolah, " Pak Ridwan menjelaskan.
Kemudian beliau mengambil sebuah amplop coklat dan meletakkan di meja tepat di depanku.
"Ini anggaran dari pemda satu bulan yang lalu, dan baru kami serahkan sekarang setelah mengunjungi beberapa sekolah."
Aku mengangguk. "Terimakasih banyak pak, bu. Nanti saya sampaikan kepada bapak kepala sekolah."
"Iya bu, kami berharap sekolah di desa ini mendapatkan fasilitas yang sama seperti sekolah di kabupaten."
Aku mengulum senyum.