18

8.3K 775 27
                                    

Mendengar dari Ibu bahwa aku tidak sadarkan diri selama hampir dua minggu membuat emosiku berkecamuk, bahkan tidak ada satu orang pun dari keluarga Mas Abi yang menjengukku.

Mas Abi selalu berada di sisiku saat Aku belum sadar, namun Aku tidak tersentuh sama sekali.

Siang ini Aku masih di rumah sakit saat Mas Abi kembali.

Seperti biasa saat dia masuk hanya melihatku sebentar tanpa ekspresi sedih sedikitpun.

"Makan?"

Aku menggeleng tanpa melihatnya.

Terlalu sakit.

Melihat wajahnya mengingatkanku kembali pada kejadian dua minggu yang lalu di mana hari itu Aku kehilangan Anakku.

Mas Abi tidak memaksa lagi.

Ibu masuk dengan kantung plastik di tangannya.

"Nak Abi sudah datang?"

Mas Abi mengangguk kecil.

"Sudah makan?"

"Nanti Bu," jawabnya sambil melirikku.

Ibu menatapku. "Risa dari pagi juga belum makan,"

"Enggak selera, Bu," Jawabku.

"Kalau kamu nggak makan, kamu bakalan lama di sini, memang kamu betah?" Ibu kembali ke mode aslinya.

Aku tidak menjawab.

Ibu mengambil Nasi bungkus yang dibawakan oleh Mas Abi dan meletakkan di meja samping ranjang.

"Dihabiskan, Ibu keluar dulu."

Setelah itu Ibu keluar, seolah tau dengan keadaan kami yang dari tadi saling cuek.

Mas Abi bangun dan duduk di kursi di samping ku.

"Suapin?"

"Nggak usah."

"Masih sakit?"

"menurut Mas?"

Mas Abi menghela nafasnya.

Kemudian memegang tanganku yang langsung kutepis.

"Marah?"

Air mataku jatuh.

Aku tidak marah. Tapi Aku benci sama kamu Mas.

Aku benci!

"Aku minta maaf," Ujarnya.

Aku menggeleng.

"Aku nggak nyangka, Farah senekat itu." Sambungnya.

"Ceraikan Aku."

Mas Abi menatapku tajam.

"Ceraikan Aku!" Ulangku dengan tegas.

"Tidak." Mas Abi masih menatapku.

"Aku benci sama kamu Mas." Air mataku semakin meluber.

Mas Abi bangun ingin memelukku.

"Jangan sentuh Aku." Desisku.

Mas Abi memasukkan tangan ke dalam saku celana bahannya.

"Aku tidak butuh Suami orang," Aku sudah terisak.

"Karena kamu, Anakku mati!" Teriakku.

Aku memukul lengan Mas Abi melampiaskan kesakitan yang kurasakan.

Mas Abi bergeming, sama sekali tidak menghindar atau mencegahku.

Aku mendongak.

Ada cairan bening di ujung matanya.

"Ceraikan Aku....Mas, ceraikan Aku." Isakku.

Menyeka ujung matanya, Mas Abi menatapku datar.

"Ris," Panggilnya.

Aku mendongak walaupun air mataku mengaburkan pandanganku.

"FARISYA...."

Deg.

Mas Abi tidak pernah memanggil nama lengkapku.

"HARI INI AKU JATUHKAN TALAK SATU UNTUKMU."

Datar.

Tidak ada emosi di intonasi bicaranya.

Setelah mengatakan itu Mas Abi berbalik dan keluar dari ruanganku.

Aku menangis.

Tangisku kali ini terasa pilu.

Dalam waktu yang bersamaan Aku kehilangan dua orang yang Aku Sayang.

Kenapa sakit sekali mendengarnya?

Bukankah ini yang selalu aku minta?

Tapi kenapa hatiku sakit?

Aku memukul dadaku yang terasa sesak, ini yang Aku mau. Aku harus menerimanya.

Harus.

Saat Ibu masuk, Aku berpura-pura tidur karena takut akan ada banyak pertanyaan saat melihat mataku sembab.

"Sudah siap menyandang status janda?"

Hah.

"kamu pikir, Ibu bodoh?"

Ibu tau?

Apa Ibu mendengar pembicaraan Aku dan Mas Abi?

Akhirnya Aku membuka mata dan melihat Ibu yang sedang mengupas jeruk.

"Egoismu itu, turunan Bapakmu."

Aku hanya diam

"Kamu memutuskan kuliah di luar kota, tanpa terlebih dahulu mendengarkan pendapat Ibu."

Ibu menghela nafas sebelum melanjutkan. "Masalah hutang temanmu yang melibatkanmu sehingga kamu meminta Abi menikahimu, kenapa kamu tidak ngomong sama Ibu?"

"Hari ini, bukan cuma kamu yang kehilangan anak. Tapi suamimu juga, Apa pernah kamu memikirkan Perasaannya sebelum kamu meminta cerai?"

Aku terdiam.

"Sudah terlambat." Ibu bangun dan meletakkan piring yang sudah berisi jeruk yang sudah dikupasnya.

"Setiap hari Ibu melihatnya menangis di musholla rumah sakit."

"Abi juga terpukul, bukan hanya kamu."

Air mataku kembali turun.

"Apapun keputusanmu Ibu memakluminya, yang Ibu sesalkan sifat gegabah kamu."

Ibu keluar dari ruangan saat suster masuk dan menyuruhnya menemui dokter yang menanganiku.

Dadaku kembali sesak mendengar penuturan Ibu.

Aku bimbang.

Benarkah ini yang Aku inginkan?

Aku melakukan ini demi kebaikanku, Mba Farah dan Mas Abi.

Sekalipun Mas Abi pernah mengatakan sebelum ada Aku rumah tangganya memang sudah bermasalah, namun bukankah kehadiranku malah menambah permasalahan baru bagi mereka?

Aku ikhlas Mas, kita berpisah.

Semoga dengan kemunduran diriku, kamu bisa Menyelesaikan permasalahanmu dan bahagia bersama wanita yang memang pantas menjadi istrimu.

Aku memandangi langit-langit kamar ruang rawatku, menerawang ke masa di mana Aku pertama kali bertemu dengan Mas Abi.

Satu pesan masuk mengusik khayalanku.

(Mas Abi)
Rumah itu atas namamu,
Pulanglah bersama Ibu.

Tubuhku begetar.

Bahkan hutangku belum sempat kucicil, Mas.

Cairan bening itu keluar lagi.

Kamu malah memberikan rumah untukku, kamu terlalu baik Mas.

Maafkan Aku.

Ada kala, saat hati seseorang mulai rapuh ia akan dengan mudahnya melebur bersama kepingannya. Namun tidak sedikit pula yang bangun menata kembali apa yang pernah retak tidak sampai pecah walaupun semuanya tidak akan sama lagi, tapi setidaknya berusaha untuk Orang yang kita sayang bukankah itu sebuah penrjuangan?

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang