24

4.2K 408 7
                                    

Perjalanan hidup tidak bisa kita prediksi, keinginan kadang tidak sesuai dengan harapan, dan itu masuk dalam kisah hidupku.

Hubunganku dengan Mas Abi sudah kembali membaik, namun Aku juga mewanti-wanti dirinya untuk bersikap baik kepada Mba Farah, bagaimanapun Mba Farah masih istri dan ibu anak-anaknya.

"Melamun?"

Mas Abi duduk di sampingku.

"Nggak Mas,"

"Anak-anak kapan dijemput?" tanyaku.

"Besok saja, lagian hari ini Om nya datang."

Om nya?

"Adikku, yang sempat kenalan sama kamu waktu pertama kali ketemu Ibu."

Oh.

Aku mengangguk.

Jujur, Aku tidak begitu ingat dengan adiknya Mas Abi.

"Mas, sudah telpon Mba Farah?"

"Sudah, cuma ngomong nggak sampai lima menit, dia sudah ada panggilan."

Aku mengangguk.

"Mas rindu?"

Mas Abi menatapku datar.

"Kan sudah ada kamu," Elaknya.

Aku menelisik wajahnya.

Bagaimanapun, Aku tidak bisa menutup mata dengan hubungan mereka selama dua puluh lima tahun ini.

Walaupun Mas Abi tidak pernah menampilkan ekspresi, Aku tau kalau di hatinya masih ada cinta.

Aku sama sekali tidak keberatan, karena dari awal kami rujuk, Aku sudah mengatakan pada Mas Abi untuk lebih peduli sama Mba Farah, agar hubungan mereka kembali harmonis.

Aku hanya minta, kami tidak tinggal satu atap.

Karena, di manapun jarang ada cerita istri pertama dan kedua akur.

"Maaf, sudah membuatmu dalam keadaan sulit," Katanya sambil menatapku.

Aku menggeleng.

Aku percaya Allah tidak akan menguji hambanya melebihi kemampuannya.

"Nggak, Mas. ini sudah skenarionya yang di atas."

Mas Abi mengecup keningku.

"Shalat asar dulu Mas."

Mas Abi mengangguk.

Kami shalat berjamaah.

Makan malam kedua setelah kami rujuk, Mas Abi minta di buatkan tumis buncis, telur dadar dan tahu isi.

Mas Abi makan dengan tenang, tidak sedikitpun berisik.

"Kamu nggak makan?"

Hah.

"Iya, Mas."

Nah kan, ketahuan lagi.

Selesai makan kami masuk ke kamar.

"Mas,"

"Hm,"

"Boleh nanya?"

Mas Abi mengangguk, matanya masih fokus ke laptopnya.

"keluarga Mba Farah, tau Mas nikah lagi?"

Mas Abi mengangguk dengan sorotnya yang masih ke laptop.

"Mereka nggak marah?"

"Awalnya, marah. cuma sebentar."

Aku mengernyit.

"Farah cuma punya seorang kakak," Lanjut Mas Abi, kini sudah menutup laptopnya.

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang