Aku masih di ruang tengah Tante Nila saat Dewi masuk.
"Nih, minum dulu." Dewi menyodorkan segelas lemon tea.
Aku meneguknya hingga habis.
Rasanya panas di hatiku butuh air dingin.
"Ehm, boleh Aku duduk?"
Aku menoleh.
Mas Irfan?
Dia di sini juga?
Aku melihat Dewi.
Dewi menggeleng ketika tau arti tatapanku yang menuduhnya.
Sepertinya Mas Irfan tidak butuh jawabanku, karena dia sudah duduk berhadapan denganku.
"Aku tau dari dari Vina."
Seketika aku menatap Mas irfan.
Vina?
Bahkan Aku tidak memberitahunya, dari mana dia tau?
Dewi menyela. "Vina, teman SMA kita kan?"
Aku mengangguk.
"Vina nggak tahu," Ucapku cepat.
"Kalau Dion?"
Dion?
"Dion, siapa?" Tanyaku.
Mas Irfan menelisikku.
Apa dia tidak percaya, kalau Aku sama sekali tidak mengenal yang namanya Dion?
"Pacar Resti."
Otakku tidak lemot.
Saat nama Resti disebut, sinyal memoriku langsung terkoneksi.
Otomatis, aku mengingat Dion.
Pasti Dion tau, bukankah dia teman Mas Abi?
Aku menghela nafas.
"Mas, tau Resti di mana?" Tanyaku lemah.
"Untuk apa? membayar hutang nya?"
Mas Irfan menatapku tajam.
Kenapa dia yang sewot?
"Seenggaknya, dulu dia yang kamu suruh nikahi, bukan kamu!" Suara Mas Irfan meninggi.
Aku bungkam.
"Sekarang lihat kamu, bahkan sudah minta cerai malah mau rujuk." Mas Irfan tersenyum miring.
Hatiku sakit mendengar kata-katanya.
"Aku bahkan tidak tau harus berkata apa, saat mendengar tentang pernikahanmu."
Mata Mas Irfan merah.
Aku tau, dia sedang menahan emosi.
"Aku pikir saat ke rumahmu mengantarkan undangan, peenikahanmu hal biasa."
Rahang Mas Irfan mengetat.Aku meremat tanganku.
"Ternyata bullshit, kau sama saja menjual tubuhmu!"
"Mas," Dewi berteriak.
"Apa Aku salah?" Mas Irfan mengguncang bahuku.
"Katakan Ris, apa Aku salah."
Aku terisak, tidak Mas.
Kamu tidak salah.
Apa yang kamu katakan benar.
"Kamu tau, Aku menuruti permintaan Papa kuliah jauh-jauh meninggalkanmu, untuk siapa?" Suara Mas Irfan serak, sarat dengan luka.
Tapi Aku tidak berani menatapnya.
"Untuk kita Ris, untuk kita." Mas Irfan meluruh kelantai dengan kepala dibenturkan ke lututku.