29

4.3K 400 19
                                    

Duduk berempat di ruang tamu dengan cemilan seadanya menunggu Mas Abi menjelaskan apa yang seharusnya kami dengarkan, menurut Mas Abi.

"Setelah mendengarkan penjelasanku, keputusan ada di tanganmu," Mas Abi melirikku.

Aku menghela nafas.

Mas Abi melihat ke Ibu.

"Sebelumnya, saya minta maaf sudah membuat putri ibu berada dalam posisi yang sulit selama ini."

Ibu melihat Mas Abi dengan seksama seakan sedang menilai sosoknya.

"Sejak Aku pamit menyusul Farah, Aku bukannya tidak menghubungimu, tapi ponselku disita Farah."

Mas Abi memegang sisi lututnya.

"Farah marah saat tau Aku menghubungimu, dan Aku memutuskan tidak mengabarimu untuk satu minggu itu."

Mas Abi menatapku tajam.

Hatiku masih penasaran dengan kediamannya selama satu minggu itu, namun Aku menunggu kelanjutannya.

"Keberadaanku di sana yang ku prediksi selama satu minggu melenceng," Ucapnya seraya menyandarkan punggungnya di kursi.

"Malam saat Aku bertemu temanku di luar, Asisten Farah menelponku dan mengatakan Farah kecelakaan dan tidak sadarkan diri."

Air mataku turun mendengar kabar Mba Farah.

Ibu Mas Abi sudah terisak.

Aku melihat ibu di samping yang juga menyeka air matanya.

"Aku merawat Farah sendirian, bahkan anak-anak tidak satupun yang tau keadaan Farah."

Mata Mas Abi merah.

"Farah mengalami cedera otak dan tulang belakang, dia koma dalam waktu yang panjang."

Kini Mas Abi menyeka buliran bening itu dengan jarinya.

Aku trenyuh melihat keadaannya seperti ini.

"Sebulan yang lalu__"

Ibu Mas Abi memegang bahu Mas Abi seraya menggeleng.

Mas Abi menatap Ibunya dan mengangguk.

Namun air matanya mengalir begitu saja.

Aku tidak mengerti arti tatapan mereka.

Mas Abi melanjutkan. "Farah sadar, dia memintaku untuk kembali padamu."

Aku merasa ada yang disembunyikan oleh kedua orang itu.

"Sekarang, di mana Mba Farah?"

Aku tidak ingin dipermainkan lagi, Aku ingin bertemu dengannya.

Ibu menyentuh lenganku.

"Aku ingin bertemu, Aku ingin langsung mendengar dari mulutnya." Kataku.

Ibu mertuaku semakin terisak.

Sementara Mas Abi menatapku tepat di manik mataku.

"Mas tidak bisa?" Aku menatapnya sinis.

Kamu ingin bertemu dengannya?"

Aku mengangguk.

"Kapan?" Tatapannya sendu.

"Kalau bisa sekarang."

"Risa." Ibu menegurku. Namun Aku sudah bertekad ingin bertemu dengan Mba Farah secepatnya.

Mas Abi nenatapku tajam.

"Baiklah." Mas Abi bangun.

"Abi, ini sudah mau malam,"

"Tidak apa-apa bu, lebih cepat lebih baik." Mas Abi menatapku lurus.

SEKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang