Setelah melambaikan tangannya pada Mark dan memastikan mobilnya sirna di antara kegelapan dini hari milik Seoul, Donghyuck melangkah pelan tanpa berpikir tentang apapun. Tubuhnya sudah lelah sepenuhnya, rasa semangatnya terpendam dan dibawanya pulang rasa sakit yang menjalar ke setiap inci tubuhnya. Ia menggigit bibir bawahnya keras-keras, mencoba menahan air mata yang sepertinya siap tergenang. Langkahnya pendek dan berusaha sekeras mungkin untuk tidak menimbulkan suara apapun yang dapat membangunkan api iblis dari dalam rumah itu. Saksi bisu atas segala 'apapun' yang pernah terjadi pada anak berumur delapan belas itu, tampak tenang, setidaknya dari luar sini.
Dengan tangan yang bergetar, ia mengumpulkan sisa keberanian yang tersisa di dalam jiwanya untuk menarik knop pintu ke bawah. Pintu rumahnya tak pernah terkunci pada saat ayahnya ada di dalam, sebuah pertanda yang baik bercampur seram. Engsel pintu yang umurnya sudah jauh lebih tua daripada umur Donghyuck itupun berderit, memunculkan suatu suara yang terdengar sangat bising karena sanggup memecahahkan keheningan sepenuhnya. "Kau," itu kata pertama yang ia dengar setelah kedua kakinya menjajakan diri di lantai rumah. Suaranya dingin dan setajam bilah belati, melonjakkan raga Donghyuck dan membuatnya mundur beberapa langkah dari sumber suara.
"Kau.. Bajingan," teriak suara itu lagi. Teriakannya begitu memekakkan telinga dan membuat gendang telinganya sakit seketika. Darah terpompa jauh lebih cepat ke jantungnya, bulu romanya berdiri tegak, dan sekujur badannya lansung dihujani tremor ringan secara tiba-tiba. Donghyuck mundur selangkah demi langkah sampai punggungnya menabrak dinding, detik itu ia benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan. Rasanya ia terlalu lemah dan pasrah, serta tidak peduli nasibnya setelah itu. Karena, jikalau ayahnya ingin menghabisi napasnya dini hari ini, ia tidak akan keberatan.
Apa lagi yang harus ia harapkan setelah ini?
"Kau membunuh istriku, bajingan!" teriaknya dengan nada yang jauh lebih kasar dari yang sebelumnya. Donghyuck meneguk ludahnya mentah-mentah, mulutnya terkunci rapat dan napasnya kian memburu. Sesak di dadanya tak lagi terkirakan, oksigen di sekitarnya seperti mengikis dan enggan membantu Donghyuck sekarang. Feromon yang mencekik dan mematikan menyeruak di seluruh penjuru ruangan, membuat Donghyuck kehilangan kemampuan untuk mengendalikan tubuhnya. "Bajingan sepertimu harusnya mati! Aku menyesal pernah mengangkatmu sebagai anak angkat!" pria dengan paras menjulang itu melanjutkan makiannya, kedua kaki jenjangnya maju melangkah, mendekati titik dimana Donghyuck berdiri.
Ketika pria yang disebut ayah itu benar-benar berjarak satu jengkal darinya, Donghyuck terjatuh dengan posisi duduk. Lututnya tak lagi kuat menyangga tubuhnya, feromon itu benar-benar mematikan. Donghyuck mulai menangis saat ia merasa benar-benar tidak bernapas, pandangannya kabur dan seluruh bagian tubuhnya sakit seperti ada puluhan tali tambang mengikatnya kencang, lalu menariknya dengan kasar.
Samar-samar terdengar suara tawa sumbang dari mulut ayahnya, ia menatap Donghyuck yang tak berdaya itu dengan remeh. Rasa puas telah menyakiti putra angkatnya kembali menguasai hatinya yang beku. Dengan ujung kakinya, ia mendongakkan dagu Donghyuck agar netra mereka bertabrakan.
"Aku berubah pikiran, akan lebih baik jika aku membunuhmu secara perlahan. Kau menyutujui itu, bajingan?" ujar ayahnya dingin. Tak ada kehangatan sedikitpun di dalam suara ayahnya, hanya ada nada dingin nan tajam yang ada di situ. Dinginnya bahkan dapat mengalahkan suhu di luar sana dengan mudah. Donghyuck mengangguk dalam diam, setidaknya jika ia menyutujui ini, ayahnya akan berhenti menyebarkan feromonnya yang mematikan. Ia hanya butuh bernapas sekarang, ironis tetapi memang itu kenyataannyan. Ayahnya tersenyum miring saat melihat anggukan lemah dari putra angkatnya itu.
Paras menjulang itu pergi begitu saja, masuk ke salah satu ruangan gelap yang tak lagi Donghyuck pikirkan. Ia masih meringkuk di situ, efek samping dari feromon itu masih terasa, walaupun ayahnya telah berhenti menyebarkan aroma mematikan itu. Ia menangis bisu, sementara dadanya naik-turun susah payah untuk kembali mendapatkan oksigen.
"Ibu," sebutnya lemah. Terlintas bayangan tentang ibunya yang berparas menawan, yang memiliki hati selembut sutra, serta kasih sayang yang banyaknya tidak terdefinisikan dengan angka. Ibu yang memberikannya semangat dan kecupan hangat di dahi setiap paginya. Ibunya yang tidak pernah membentak, yang melindunginya dari amukan sang ayah. Ibu yang berarti segalanya untuk Donghyuck.
Tidak ada balasan, hening kembali mengambil alih setiap ruang hampa. Donghyuck lelah dan ia memejamkan kelopak matanya secara perlahan, masih terus menangis, kemudian tertidur begitu saja.
☆
"Mark?" Suara lembut itu menyapa indera pendengaran pria asal Vancouver, sesaat setelah ia membuka pintu apartemen. Didapatinya lelaki manis, menggulung selimut beludru ke tubuhnya. Lelaki itu tersenyum mendapati kehadiran Mark. Kaki jenjang milik Mark melangkah maju dengan cepat, tak lagi sabar untuk kembali memeluk tubuh itu.
Mark mendekapnya erat, seraya mendaratkan ciuman-ciuman ringan di pucuk kepalanya. Lengannya mengunci tubuh itu ke dekapannya, tak mau meninggalkannya kedinginan dini hari ini. Lelaki itu sudah cukup bersabar menungguinya pulang sedari tadi, maka ia pantas mendapatkan kasih sayang dari Mark seutuhnya.
Tangan Mark meraih surai karamel itu, mengusapnya halus dan membiarkan sang pemiliknya meletakkan kepalanya di perpotongan antara leher dan bahunya. Ia mendengus pelan saat hidung lelaki itu menyentuh kulitnya, mencoba mencari bau parfum khas Mark yang tersisa di perpotongan itu. "Aku merindukanmu," ujar lelaki itu, kini matanya menatap lekat netra cokelat madu milik Mark.
"Aku lebih merindukanmu, Na," ujar Mark sembari tersenyum hangat. Ia memajukan bibirnya dan dengan begitu saja mereka bersatu, dalam satu ciuman hangat di dini hari yang dingin. Tangan kanan lelaki manis itu menekan tengkuk Mark maju, yang membuat ciuman mereka semakin dalam. Mark tidak menolak, ia manyukai segalanya yang dilakukan oleh lelaki dalam dekapannya itu.
"Apakah Donghyuck baik-baik saja?" Kalimat pertanyaan itu muncul setelah keduanya sudah terduduk di tepi ranjang, puas dengan ciuman yang mereka tukarkan beberapa menit yang lalu. Mark mendengus, atensinya teralih ke langit-langit apartemen, rasa itu masih ada. Rasa berat yang mengganjal hatinya, saat lelaki dengan nama lengkap Na Jaemin itu membahas Donghyuck.
"Ia tidak terlihat baik-baik saja," balas Mark dengan nada datar. "Aku tahu rasanya kehilangan ibu, Mark. Aku juga yakin, Donghyuck merasakan apa yang pernah aku rasakan. Memang sulit untuk sepenuhnya merelakan kepergian ibu," ujar Jaemin pelan. Ucapan itu berhasil membuat Mark kembali menatapnya, tatapan penuh belas kasih kembali memenuhi tiap sudut netra cokelat madu itu.
"Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa aku selalu disini, Na. Menjagamu dan menjadi sandaranmu," kalimat indah itu terucap. Jaemin tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia menarik tubuhnya mendekat, lalu mendaratkan satu kecupan hangat di dahinya. "Terima kasih."
☆
Kau datang tat kala sinar senja ku telah redup,
dan pamit ketika purnama ku penuh seutuhnya.Kukira, kau rumah.
Nyatanya kau cuma aku sewa.
Dari tubuh seseorang yang memintamu untuk pulang.Catatan penulis
Halo, aku kembali dengan fanfiction Markhyuck berbahasa Indonesia. Aku berharap kalian selalu menyetel lagu yang aku selipkan di atas, karena setiap lagu yang aku selipkan itu, berkaitan erat dengan isi part cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sol y Luna ☆ markhyuck
Fanfiction"Kamu adalah matahari, Donghyuck." Pria mungil itu tersenyum, matanya terbenam karena lipatan pipi yang tercipta dari sebuah senyuman. "Wahai matahari kecilku, maukah kamu menikahi sang rembulan?" - story by vy ♡ #1 markchan - 8 April 2019 ⚠️ omegav...