Ketika Mark terbangun, ia mendapati pria bermarga Na tersebut masih memeluk tubuhnya erat. Diam-diam, Mark mengulum senyum tipis di bibir ketika menatapi keindahan pria di dekapannya itu. Surai karamelnya yang berantakan, menempel di dahinya. Bulu matanya yang lentik dan frekuensi detak jantungnya yang terasa di kulit Mark. Ia tampak sangat tenang saat tertidur dan hal itu membuat Mark semakin jauh menyukainya.
"Na," ucap Mark selembut kapas saat ia merasakan gerakan dari pria manis itu. "Hm?" Suara serak sehabis bangun tidur itu membalas, sementara tubuhnya sibuk mencari posisi baru yang lebih nyaman. "Na, bukankah kamu punya kelas pagi hari ini?" Mark melontarkan pertanyaan itu seraya mengusap punggung pria itu, membentuk lingkaran besar di punggungnya.
Geraman rendah terdengar dari mulut Jaemin, rasanya tubuh itu enggan sekali beranjak dari kehangatan yang Mark berikan. Ia berharap akan ada waktu dimana dirinya dan Mark menghabiskan dua puluh empat jam bersama, bersenang-senang dan berbagi rasa cinta. "Aku akan mandi," ujar Jaemin, ia mendudukkan tubuhnya dan meregangkan tubuh.
"Aku akan membuat roti dan telur," ujar Mark, terlebih dulu bangkit dari ranjang dan melangkah menuju dapur apartemen. Sesampainya di sana, Mark mengambil beberapa butir telur dan lembar roti untuk dimasak. Sebenarnya, Mark tidak begitu mahir memasak, ia hanya bisa membuat makanan yang sederhana. Selama itu masih layak dimakan, maka ia akan membuat makanan itu terus menerus hingga bosan dengan sendirinya.
Seketika aroma telur yang ditaburi garam dan lada hitam menyerbak ke seluruh apartemen. Bau sarapan dan sinar mentari pagi yang saling tumpang tindih dengan tirai putih menerawang di jendela. Ketika mereka bersama, pagi terasa lebih baik daripada hari biasanya. Mereka akan menghabiskan sarapan, Jaemin dengan kopi hitamnya dan Mark dengan teh lemonnya.
Setelah sarapan, Mark akan mengantar Jaemin ke universitasnya. Mereka belajar di universitas yang berbeda dan jurusan yang berbeda pula. Jaemin memilih jurusan sastra Perancis dan Mark mengambil jurusan manajemen. Kau tidak akan bisa menebak kali pertama mereka bertemu, kala itu sungguh memalukan, tetapi berbekas memori untuk kedua insan yang saling menyukai satu sama lain.
Mark menemukan Jaemin di rumah sakit, saat ia sedang melakukan studi banding bidang manajemen di salah satu instansi rumah sakit di Seoul. Jaemin yang baru saja mendatangi meja resepsionis, bertemu dengan Mark yang linglung dan berpikir bahwa Jaemin adalah salah satu pimpinan disitu. Lantas Mark langsung memperkenalkan dirinya dan menjabat tangannya dengan formal, seperti bertemu dengan pimpinan instansi.
Memalukan. Jaemin bahkan masih ingat jelas kedua telinga Mark yang memerah padam ketika Jaemin menjelaskan bahwa ia hanya seorang pasien biasa, bukan seorang pekerja, apalagi pimpinan rumah sakit.
"Aku akan menjemputmu pukul lima sore, Na," ucap Mark, sesaat setelah ia menginjak pedal rem dan berhenti di depan gedung jurusan sastra dan budaya. "Baiklah, pulanglah dengan hati-hati. Bekerjalah dengan baik hari ini, Mark," balas Jaemin. Kedua tangannya menangkup pipi kekasihnya itu, seraya tersenyum, lalu memberikan kecupan singkat di bibirnya.
Setelah memastikan punggung Jaemin hilang bersama ramainya mahasiswa pagi itu, ia segera menancap gas kuat-kuat. Audi miliknya membelah kemacetan pagi di Seoul, melewati jalan-jalan yang penuh dengan kendaraan roda empat. Trotoar di bahu jalan yang penuh dengan manusia-manusia berjas dan berpakaian formal. Toko-toko mulai buka, terlihat seperti biasanya, sama sibuknya seperti hari-hari sebelumnya.
Audi itu berhenti di salah satu gedung pencakar langit milik Seoul. Ia tak repot mencari tempat parkir, sebab kunci Audi itu telah ia lemparkan begitu saja ke salah satu petugas valet parking di depan pintu masuk gedung. Seorang petugas membungkuk hormat pada Mark ketika mereka berpapasan. Mark tersenyum tipis, seraya melontarkan ucapan selamat pagi kepada karyawan yang ikut membungkuk untuknya.
"Mark Lee," ia mendengar nama lengkapnya disebut oleh pria dengan balutan jas hitam di depannya. Air mukanya yang mirip sekali dengan milik Mark, tingginya pun hanya berselang sedikit. "Dad, guten morgen." Mark membungkuk pada ayahnya sesaat setelah ia mengucapkan selamat pagi dalam bahasa ibunya. "Duduklah, ada yang ingin aku bicarakan."
Mark mendudukkan dirinya di kursi, menghadap langsung meja kerja ayahnya yang tampak penuh dengan tumpukan berkas. "Kau masih berhubungan dengan pria Na itu? Ah, siapa pula nama lengkapnya," ucap ayahnya sembari menatap netra Mark dalam-dalam. Lagi-lagi ayahnya mengungkit hubungannya dengan Jaemin dan Mark hampir berada di titik muak karena mendengar pertanyaan yang sama itu.
"Tentu, dad. Kami masih berpacaran," balas Mark dengan yakin. Bagaimanapun juga, ia harus bisa meneguhkan hubungan ini, tak lagi mau hubungannya dengan seseorang terganggu karena ayahnya atau siapapun. "Kau tahu konsekuensinya, Lee," kini nada suara ayahnya jauh lebih tegas. Mark berdecak malas, lagi-lagi ucapan yang sama. "Aku tahu betul, dad. Kau tak perlu khawatir, aku bisa meneguhkan hubungan ini."
Pria separuh baya berdarah murni Kanada itu menghembuskan napasnya kasar. Ditatapnya putra kandung di hadapannya yang sama sekali tidak berubah pikiran, meskipun ia sudah memperingatinya berkali-kali.
☆
"Hei, Donghyuck. Hari ini jadwalmu membuang sampah," ucap salah satu karyawan restoran yang hari ini sedang ramai. Seisi dapur tampak sibuk sekarang. Donghyuck yang tengah membantu mencuci piring dan mengeringkan alat makan itu langsung menoleh. Ia mengangguk dan tanpa basa-basi, langsung mengikat plastik sampah untuk dibuang ke bak sampah di belakang restoran.
Ia menggigit bibirnya keras-keras ketika mendengar bunyi perutnya yang keroncongan. Menahan rasa ingin muntah dari perutnya yang bergejolak setelah membuang sampah. Ini berbahaya untuk lambungnya, Donghyuck hanya berdoa agar asam lambungnya tak naik melebihi batas normalnya. Karena ia bisa pingsan kapan saja hanya karena itu. Dengan kaki yang sedikit tertatih, ia melangkah masuk kembali ke dapur.
"Apakah kau sudah makan siang?" Seorang karyawan menepuk bahunya, membuyarkan Donghyuck. "Ah, aku tidak makan siang hari ini. Sedang berusaha diet," balas Donghyuck, memaksakan senyum terpulas di bibirnya. Bohong jika Donghyuck ingin mencoba diet, ia bahkan sudah kehilangan sepuluh kilogram berat tubuhnya tanpa diet. Ia lapar, hanya saja ia tidak memiliki uang sepeserpun.
Biasanya ayah akan tetap memberi Donghyuck uang saku tiap pagi, walaupun ia marah. Berbeda dengan pagi ini, ayahnya keluar dari rumah lebih dulu, tanpa meninggalkan pesan atau uang, apalagi sarapan. Donghyuck terpaksa memakan selembar roti gandum yang tersisa di dapurnya. Lemari makanannya kosong, ia bahkan tak memakan sarapan yang cukup.
"Sejak kapan kau ingin diet? Sepertinya kau sudah sangat kurus sekarang, Donghyuck," ujar pria yang menggunakan tanda nama Huang Renjun di apronnya. "Mungkin itu hanya perasaanmu, Renjun. Aku bahkan naik lima kilogram baru-baru ini," balas Donghyuck, lagi-lagi berbohong. "Baiklah, aku akan makan siang dengan Chenle jika kau tidak ingin makan," ucap Renjun final.
Ternyata ayah tidak bermain-main dengan kalimatnya kemarin malam. Ia benar-benar akan membunuhnya secara perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sol y Luna ☆ markhyuck
Fanfiction"Kamu adalah matahari, Donghyuck." Pria mungil itu tersenyum, matanya terbenam karena lipatan pipi yang tercipta dari sebuah senyuman. "Wahai matahari kecilku, maukah kamu menikahi sang rembulan?" - story by vy ♡ #1 markchan - 8 April 2019 ⚠️ omegav...