"Kamu adalah matahari, Donghyuck."
Pria mungil itu tersenyum, matanya terbenam karena lipatan pipi yang tercipta dari sebuah senyuman.
"Wahai matahari kecilku, maukah kamu menikahi sang rembulan?"
- story by vy ♡
#1 markchan - 8 April 2019
⚠️ omegav...
"Hyung? Apakah ada keperluan khusus sampai harus bertemu denganku di sela-sela jam kerja?" Tanya Donghyuck, sesaat setelah ia menemukan sosok jangkung itu masuk dan langsung menuju meja kasir untuk menanyakan keberadaan Donghyuck pada Chenle. Donghyuck yang masih menggunakan apron, sementara Mark yang terlihat baru saja pulang dari kelasnya siang ini. Kemeja putih polos yang lengannya digulung hingga siku, serta celana jeans biru langit yang tampak serasi dengan kaki jenjangnya.
"Kapan jam kerjamu berakhir?" Kalimat tanya itu dilontarkan Mark, manik mata cokelat madunya menatap Donghyuck. "Setengah jam dari sekarang, hyung," balas Donghyuck setelah menengok jam dinding di tengah ruangan. "Tidak bisa, aku perlu berbicara denganmu sekarang." Nada berbicaranya terdengar tak terbantah, menuntutnya untuk segera menyelesaikan jam kerja. Donghyuck mendengus malas, ia sungguh tidak bisa memotong jam kerjanya karena enggan membayar denda.
"Tidak bisa, maaf. Aku tidak memiliki uang untuk membayar den-" ucapannya terpotong oleh Mark yang langsung mengeluarkan dompetnya. Credit card terselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. "Dimana bosmu? Aku akan membayar denda itu," ujar Mark datar. Dasar orang kaya, batin Donghyuck dalam hati. Ia melengos masuk ke ruang kerja bosnya, meninggalkan postur jangkung itu di depan meja kasir.
Pandangan para pelanggan restoran tertuju pada Mark. Berbisik-bisik, mengomentari parasnya yang menawan. Seakan tak bisa lepas menatap ciptaan Tuhan yang satu itu. Mark hanya mendiamkan, sudah terlalu banyak dan terbiasa dengan hal seperti ini. Ia hanya menganggap mereka sebagai suatu yang mengagumi dan berlalu cepat. Lagi pula, ia sudah dimiliki oleh orang lain.
"Mark hyung, ini bosku," ujar Donghyuck. Di sampingnya berdiri lelaki tua berumur lima puluhan, senang menyambut uang dari Mark. "Tuan, senang menyambut Anda. Apakah Anda ingin mengajak pacarmu ini pulang kerja lebih awal?" Tanya bos, tak lupa menyunggingkan senyum. "Dia bukan pacarku, bos," ujar Donghyuck. Mark mengangguk, tanpa banyak berbicara, dirinya langsung menyodorkan credit card itu ke muka bos.
"Berapapun nominal dendanya, terserah. Aku hanya butuh anak ini pulang lebih awal, sekarang juga."
☆
"Jadi, apa ada masalah?" Tanya Donghyuck, setelah menyesap teh leci yang dipesankan Mark untuknya. "Tidak, hanya saja kita sudah lama tidak berjalan bersama," Mark berkata, manik matanya tak terlepas dari sosok Donghyuck di depannya. Donghyuck tertawa kecil, ditatapnya pria itu dengan senyum tipis terlukis di bibirnya. Lucu, ujarnya dalam hati. Entah kenapa, rasa mengganjal itu tetap ada meskipun mereka sedang bersama dan bersenang-senang.
"Lain kali hyung bisa mengajak Jaemin hyung jalan bersama. Bukankah kalian sedang berpacaran?" Ujar Donghyuck dengan polos. Mark mendengus, ia tidak suka saat Donghyuck membawa orang lain ke percakapan mereka. Memang mereka berpacaran, tetapi untuk saat ini, ia ingin menghabiskan waktu dengan sahabat yang setia di sisinya sejak delapan belas tahun lalu.
"Ini hari untuk kita berdua, Donghyuck," kalimat itu sukses meluncur dari bibir tipis Mark. Menitipkan semburat merah hangat di pipi pria yang lebih muda. Mark menyadari itu dan menganggapnya manis sekali saat tersipu malu. Sejak awal, Mark kerap kali bertanya-tanya, kenapa sahabatnya ini belum kunjung mendapat pacar? Dengan rupanya yang semanis itu, pasti tidak ada orang yang mampu berkata sebaliknya.
"Bagaimana kuliahmu?" Donghyuck mengalihkan pembicaraan, menatap balik sosok jangkung yang duduk di depannya. "Sepertinya baik-baik saja. Sibuk dan harus membagi waktu antara bekerja di perusahaan dan waktu kuliah," balas Mark, disusuli dengan beberapa tegukan teh lemon. Donghyuck mengangguk, merasa sedikit canggung. Mungkin karena mereka sudah lama tidak berjalan bersama seperti ini?
"Bagaimana kabar ayahmu?" Kini giliran Mark yang bertanya. Donghyuck sempat kaget sepersekian detik, namun berhasil ia kendalikan karena enggan memberitahukan fakta kepada Mark. "Ya, ia baik. Hanya lebih suka minum-minum setelah kepergian ibu," ujarnya senetral mungkin. "Kau tidak disakiti?" Sumpah demi Tuhan, sepertinya Mark memang memiliki keahlian untuk membaca pikiran orang lain.
Donghyuck menggeleng pelan, "aku baik-baik saja. Berhenti mengkhawatirkanku, hyung," balasnya. "Bagaimana aku tidak khawatir setelah kamu meneleponku balik, lalu menangis ketakutan disertai rasa lapar?" Mark mendengus, diraihnya telapak tangan mungil itu, memberikan usapan menenangkan. Manik mata cokelat madu milik Mark terlihat begitu khawatir, Donghyuck tahu.
"Setelah kejadian itu, tidak terjadi apa-apa lagi. Lihat. Bukankah aku terlihat baik-baik saja, hyung?" Donghyuck berucap dan Mark hanya meringis. Apa yang Mark lihat tidak terlihat baik-baik saja, pipi Donghyuck yang dulu menggembung kini hilang begitu saja. Tubuhnya ringkih, seakan ia melewati jadwal-jadwal makan setiap harinya. Manik cokelat kayu itu juga tampak kosong, jauh di dalam sana; tersimpan sesuatu yang tak terjamah.
"Sudahlah, lebih baik kita bersenang-senang saja hari ini! Ingin nonton film di bioskop bersama?" Tanya Donghyuck, kini ekspresinya berubah drastis, nampak sangat gembira. Mark mengangguk, mengiyakan anak itu menghabiskan sisa waktunya hari ini dengan apapun yang ia inginkan. Apapun itu, asalkan Donghyuck bisa merasa bahagia.
☆
Saat film selesai diputar, Donghyuck sudah tertidur. Kepalanya disenderkan ke bahu Mark. Begitu nyaman hingga Mark tak sanggup hati untuk membangunkannya. Mark menatap lekat sosok Donghyuck di sampingnya, sedikit memberikan usapan halus pada surai-surai rambutnya. Ketika orang-orang sudah mulai keluar, Mark bergeser sedikit dengan perlahan.
"Aku akan menggendongmu di punggung, nanti kamu berpegangan pada bahuku," ujar Mark kepada Donghyuck yang sedikit terbangun karena Mark berdiri dari kursi. Ia mengangguk pelan. Kemudian Mark berjongkok, mengangkat tubuh Donghyuck yang begitu ringan.
Malam itu Mark menggendong Donghyuck di punggungnya. Membiarkan anak itu kembali tertidur dengan bahunya sebagai sandaran. Dengkuran halus dan napas Donghyuck yang menyapu lehernya, memberikan euforia yang masih terasa sama.
Malam berlalu begitu saja, tetapi Mark bersyukur dapat menghabiskan sisa waktunya hari ini dengan Donghyuck.
☆
"Na, kau yakin pacarmu tidak akan mencarimu?" Tanya suara serak itu, meskipun lengan kekarnya tak terlepas dari tubuh Jaemin. Memberikan pelukan kuat, seakan memberikan isyarat kepada Jaemin untuk tidak segera pulang. Berharap ia mau menghangatkan samping ranjangnya yang kosong nan dingin. "Tidak tahu, aku pikir dia juga sedang bersama lelaki lain sekarang," balas Jaemin.
Kecupan-kecupan ringan itu mendarat di tengkuk Jaemin. Menerbangkan ribuan kupu-kupu di perutnya. "Kau belum ditandai," ujar suara serak itu lagi. Menyadari tak ada bekas gigitan apapun di perpotongan antara leher dan bahunya. Jaemin mendengus, memang Mark tak pernah setuju untuk menandainya, walaupun keduanya bepacaran.
Mark hanya ingin menandai seseorang jika mereka sudah menikah.
"Ya, dia belum ingin menandaiku," balas Jaemin, membalikkan tubuhnya. Kini Jaemin menatap sosok dengan manik mata kelabu di depannya. "Aku bisa menandaimu sekarang juga jika kau mau. Maka jadilah pacarku," ujar sosok itu lagi. Jaemin tidak menjawab, tetapi lengannya menarik tengkuk pria itu mendekat. Menyambar bibirnya dengan ciuman panas.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.