sechzehn

6.7K 939 89
                                    

"Sayang, jika ibu pergi nanti. Kamu jangan mencari terlalu jauh ya, nanti kamu tersesat. Kamu cukup menunggu, ibu pasti akan kembali lagi nanti," wanita dengan sejuta teduh itu berkata. Mengelus pucuk kepala putra angkat di pangkuannya, menyiramnya dengan kasih sayang tak terhingga.

"Ibu memang ingin pergi ke mana? Kenapa Donghyuck tidak diajak, ibu?" Anak berumur dua belas itu bertanya polos.

"Ibu akan pergi ke taman penuh bunga matahari, sayang. Ketika ibu pulang nanti, pasti ibu akan bawakan banyak sekali bunga matahari untukmu." Wanita itu menjelaskan dengan nada selembut sutra.

"Taman bunga matahari, ibu? Donghyuck mau ikut!" Putra angkatnya itu berucap dengan semangat, ia sangat menyukai bunga matahari. Maka saat ibu mengatakan taman penuh bunga tersebut, hatinya berteriak senang.

"Tidak bisa sayang, kamu harus tetap di sini. Nanti ibu dan ayah akan pulang. Kalau kamu ikut, ibu dan ayah tidak mau membawa pulang bunga matahari yang banyak untukmu." Wanita itu berucap dengan sedikit tegas.

"Tapi janji ya, ibu harus pulang membawa banyak bunga matahari untuk Donghyuck!" Anak itu menatap ibu angkatnya penuh harap, membuat hati ibu terkikis tak kasat mata.

"Iya sayang, sekarang kamu tutup mata ya," suara teduh itu memenuhi benak Donghyuck. "Tutup mata dan dengarkan ibu baik-baik. Lee Donghyuck adalah anak ibu dan ayah yang sangat cemerlang dan baik hati, ia selalu memaafkan kesalahan orang lain. Bukankah begitu, sayang?"

Donghyuck mengangguk dengan mantap, "iya ibu, aku anak baik dan mau memaafkan."

"Anak pintar. Sekarang buka matamu ya, ada seseorang yang menunggumu. Ibu akan kembali lagi nanti."

"IBU!" Donghyuck tersentak dari tidurnya selama hampir tiga hari. Mimpi tentang ibu yang menyuruhnya untuk membuka mata, benaknya kini penuh dengan percakapan semu bersama ibu. Jantung berdegup kencang, masih belum bisa mencerna dimensi ruang dan waktu yabg sedang ia jejaki. Bau cairan infus menusuk indra penciumannya, putih mengelilingi.

Mark masih tertidur dengan kepala bertumpu di ranjang Donghyuck. Rambut legam milik Mark itu kacau, membuat tangan Donghyuck dengan sendirinya bergerak membenarkan. Sentuhan sederhana itu membangunkan Mark dengan mudah, ia tersentak kaget. Ada rasa lega yang memuncak di ujung kepalanya.

"Donghyuck! Donghyuck, kamu sudah sadarkan diri!" Mark berkata dengan senyum termanis, kedua tangannya yang mendingin itu menangkup kedua pipi Donghyuck. "Terima kasih, Tuhan. Terima kasih atas anugerah-Mu ini," Mark berucap khidmat. Ia menatap lurus Donghyuck, seperti melihat satu-satunya ciptaan Tuhan di dunia.

"Hyung.."

"Ya, Donghyuck. Ini aku, Mark hyung. Kamu tidak mungkin melupakan aku, bukan?" Mark berucap hangat. Tangan kanannya naik ke pucuk kepala Donghyuck, memberikan usapan halus di sana. Anak mungil itu menggeleng, raut mukanya tetap tak terdefinisikan dengan mudah.

"Hyung tidak membenci aku?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Donghyuck, membuat Mark membantahnya secepat kilat.

"Tidak, aku tidak pernah membenci kamu. Soal kejadian waktu itu, aku minta maaf. Sungguh, otak dan hatiku tidak sinkron dalam memberikan perintah." Mark menjelaskan dengan nada rendah, manik mata cokelat muda itu bertabrakan dengan manik mata Donghyuck yang masih terlihat lesu. Anak mungil itu tidak membalas, hanya terdiam tanpa kata, membuat Mark bingung dan takut salah berucap.

"Aku bermimpi tentang ibu," Donghyuck meringis, mengepal tangannya sendiri untuk menahan rasa perih di hati. Mata Mark membelalak lebar, segera dirangkulnya tubuh mungil itu ke dalam dekapan. Topik pembicaraan menjadi berat dan sensitif. Mark tak ingin Donghyuck yang baru siuman ini dibebani pikiran tentang ibunya yang sudah pergi, tak kembali.

Sol y Luna ☆ markhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang