Mark terburu-buru mengambil ponsel di dalam sakunya, ia melangkah keluar dari kamar tamu di lantai dua. Ini sudah pukul sepuluh malam, siapa yang meneleponnya ketika langit telah menggelap dan kebanyakan dari manusia telah terlelap dengan bunga tidurnya? Nama Jeno muncul di layar ponselnya, menunjukkan nama sang penelepon yang sudah lama tak ia jumpai secara langsung.
"Yo." Mark mengawali panggilan dengan sapaan khas lelaki. "Pulang sekarang. Jaemin tidak ada di apartemen sejak kamu meninggalkan apartemen pada pagi hari," balas Jeno dari saluran seberang, nadanya terburu-buru. Mark menghembuskan napas dengan kasar, merasa kesal karena kekasihnya itu tidak memberinya kabar sedari tadi. Padahal Mark sudah mengiriminya lima pesan sebelum berjalan-jalan dengan Donghyuck, kelimanya tidak terbaca.
"Serius? Kau belum melihatnya pulang sedari tadi?" Mark bertanya, mengacak surai rambutnya frustasi. "Aku tidak pernah berbohong, dude. Biasanya aku menemuinya saat ingin naik lift, aku juga sudah mencoba menekan bel apartemen kalian berkali-kali, namun hasilnya nihil. Padahal aku ingin mengembalikan kaset fifa 2019 yang aku pinjam kemarin," Jeno menjelaskan dengan rinci. Membuat Mark bertambah frustasi, pikirannya terbelah dua.
Di antara pria ringkih yang kini tertidur pulas dan kekasih manis yang keberadaannya tak diketahui.
"Baiklah, aku segera kesana. Beri tahu aku segera jika Jaemin sudah pulang," Mark menyudahi. Sambungan terputus begitu saja, meninggalkan rasa tak enak yang menyelinap di hatinya. Ia seharusnya mengetahui konsekuensi dari membawa Donghyuck ke mansion. Mark pasti akan lebih banyak meninggalkan pria mungil itu sendiri karena kehidupan dengan kekasihnya. Pria kelahiran Vancouver itu masih menyayangi kekasihnya, walaupun kemungkinan buruk selalu menghantui hubungan mereka.
Mark mengendarai mobil Audi itu dengan kecepatan penuh, membelah kekosongan jalan di seputaran Seoul. Benaknya mulai memutarkan kemungkinan buruk yang tak pernah ia harapkan sampai kapanpun. Bulan setengah penuh di atas sana terdiam, meratapi kehidupan setiap insan di bumi, tak banyak berkata, hanya mampu memberikan cahaya temaram yang buram. Tak ada burung dara atau gereja yang berlarian di antara lapisan langit hitam, semuanya telah pulang ke sarang.
Perlu waktu yang singkat untuk mobilnya menjangkau apartemen. Tak repot memakirkan, ia hanya memberhentikan mobil itu di depan pintu masuk. Hanya mengunci mobil itu, lalu lari menuju lift dengan keadaan sekitar yang kosong. Mark merutuki tarikan ke atas yang diberikan oleh kubik itu, terlalu lama dan membuatnya kian berdegup kencang saat angka yang menunjukkan lantai silih berganti. Angka ke dua belas, ia keluar dan kembali berlari ke pintu apartemen milik mereka.
Jeno berdiri mematung di sana, sirat wajahnya cemas, ponselnya masih ditempelkan di telinga. "Ada kabar baik?" Mark bersuara, menstabilkan napasnya yang masih memburu. "Menurutmu?" Jeno bertanya retoris, masih menunggu panggilan yang terangkat dari seberang. Mark berdecak, ingin rasanya ia membanting sesuatu karena kesal. "Aku mengiriminya pesan dan semuanya juga tidak terbalas," Mark berujar sembari meringsut ke dinding.
"Kau seharusnya memasangkan GPS di ponselnya, bodoh. Ia kekasihmu, tak seharusnya kau bersikap seperti ini!" Jeno menyentak, manik matanya penuh kekesalan. "Aku tak seposesif itu, Jen." Mark membalas, menatap layar kunci ponselnya yang menunjukkan foto mereka bersama. "Apa yang posesif? Justru dengan itu kau bisa mengetahui keberadaannya di saat seperti ini!" Nada suara Jeno kembali nyalang. "Kau tahu? Aku tak suka merebut kebebasan seseorang, meskipun ia telah menjadi kekasihku."
"Kau benar-benar bodoh, Mark. Apa yang akan kau lakukan jika sudah seperti ini?" Kini Jeno benar-benar berteriak. Membuat Mark tersentak kaget karena Jeno tak pernah meninggikan suaranya sampai ke titik ini sebelumnya. "Ya.. Menunggunya pulang," Mark berkata, tak ingin melanjutkan sesi bertengkar ini. Suara barang pecah terdengar setelahnya, mengalihkan atensi Mark, Jeno melempar kaset PS4 favoritnya. Kaset fifa 2019 itu pecah berkeping-keping.
Jeno menarik kerah kemeja putih yang Mark gunakan, menyentaknya dengan kekuatan yang setara alpha. Manik matanya berubah menjadi cokelat madu dan violet dalam hitungan secepat kilat. Mark hanya menatap teman satu klannya dengan datar, sama sekali tidak ketakutan. "Halo alpha, senang bertemu denganmu. Kau harus mengganti kasetku besok," Mark berkata dengan remeh. Ia masih menahan alpha di dalam dirinya yang siap mengambil alih, tak mungkin ia membolehkan baku hantam di antara satu klan yang sama.
"Kembalikan Jaemin," alpha yang menguasai tubuh Jeno itu berkata dengan penekanan. "Oh? Nyatanya alpha ini menginginkan kekasihku, santai dude, jangan terlalu berlebihan!" Mark berkata, ia menepis cengkraman di kerahnya dengan mudah. Kedua manik mata dengan warna berbeda itu menatapnya nyalang. "Jangan melanggar kode etik klan serigala putih, kau tidak akan menyukai hukumannya." Mark berkata dengan tegas, menatap balik manik mata itu.
"Fuck," Jeno mengumpat saat ia sudah mulai menguasai kembali tubuhnya. Manik matanya berubah kembali menjadi cokelat madu di keduanya, sudah kembali normal. Alpha di dalam tubuhnya baru saja menguarkan fakta pahit, kini Mark mengetahui bahwa Jaemin menarik di mata alpha miliknya. "Jangan pernah menyentuh kekasihku," Mark menyudahi dan langsung masuk ke apartemen mereka, setelah memberikan sidik jari pada kunci pengaman.
"Fuck, fuck, fuck," Jeno kembali mengumpat setelah melihat keadaan sekitar yang kacau karena ulahnya. Kaset dengan harga yang tak murah kini telah pecah berkeping. Ia menatap tangannya yang baru saja mencengkram kerah teman satu klannya itu. Berharap Mark tidak memberitahukan ini kepada pejabat klan di pertemuan selanjutnya.
☆
Donghyuck terbangun setelah mendengar alarm pagi dari ponselnya. Tubuhnya terasa lebih nyaman, tidak pernah ia merasakan ini semenjak kepergian ibunya. Empuknya ranjang membuat Donghyuck berguling-guling sebentar sebelum terbangun sepenuhnya. Butuh waktu beberapa menit sampai dirinya tersadar bahwa ini bukan kamarnya. Interior yang serba nude menenangkan matanya, semua tertata rapi, berbanding terbalik dengan kamarnya di rumah.
Ini kamar tamu di mansion milik Mark. Donghyuck mengetahuinya begitu saja setelah melihat lukisan München di dinding. Ibu dari Mark sendiri yang melukis semua lukisan di rumah ini. Ia memanggilnya Tante Rachel, Tante Rachel sangatlah cantik. Mark tidak berbohong saat ia mengatakan bahwa ibunya sangat cantik. Tante Rachel memiliki rambut cokelat muda yang panjang digelung lembut, senyumnya manis bukan main, ramping dan tinggi. Donghyuck terkadang iri karena Mark hyung memiliki ibu yang terlalu sempurna.
Tinggallah disini sampai masalah dengan ayahmu terselesaikan. Ada banyak maid yang siap membantu jika kamu lapar atau membutuhkan sesuatu.
Ia menemukan secarik kertas yang dibubuhi tulisan khas Mark itu di atas nakas. Bibir penuh itu tersenyum saat selesai membaca pesan di secarik kertas itu. Rasa hangat langsung menyelimuti hatinya, jadi inilah jawaban dari segala doa yang dijunjungkan kepada Tuhan setiap malam. Mark Lee selalu menjadi jawaban dari segala masalah yang ia miliki, tetapi keduanya tak pernah menyadari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sol y Luna ☆ markhyuck
Fanfic"Kamu adalah matahari, Donghyuck." Pria mungil itu tersenyum, matanya terbenam karena lipatan pipi yang tercipta dari sebuah senyuman. "Wahai matahari kecilku, maukah kamu menikahi sang rembulan?" - story by vy ♡ #1 markchan - 8 April 2019 ⚠️ omegav...