eins

18.2K 1.4K 55
                                    

"Kau merokok?" ujar pria berumur sembilan belas itu. Matanya tidak menatap lawan bicaranya, melainkan tatapannya hilang di antara sudut kota pada malam hari. Udara dingin menusuk hingga tulang belulang, terakhir ia mengecek perkiraan suhu udara, mendapati angka nol derajat celcius. Salju ringan mulai turun satu persatu, awal dari musim dingin seperti terbentang di setiap jalan kota. Lampu-lampu kota temaram yang tak sanggup menyandingi sinar rembulan yang tampak putih kelabu. Semuanya tampak indah di matanya.

"Tidak." Ia mendapatkan satu jawaban singkat dari pria yang umurnya satu tahun terpaut lebih muda. Suaranya pelan dan terdengar seperti orang yang siap untuk menangis. Helaan napas berat terdengar setelahnya, membuat atmosfer yang kian canggung di antara mereka berdua. "Aku mengerti, maaf soal kepergian ibumu." Tidak ada balasan, angin bertiup menerpa surai rambut mereka, membawa suhu yang terasa jauh lebih dingin dari nol derajat. Satu-satunya sumber panas yang ada di sekitar hanya sekedar api kecil yang tersulut di ujung rokok milik salah satu dari mereka.

"Terima kasih. Aku menghargai itu, Mark hyung," balasnya dengan suara lembut yang pecah di akhirnya. Tiba-tiba ia menunduk, menenggelamkam mukanya ke lipatan lengan berbalut jaket biru dongker itu. Tidak terdengar suara tangisan, ia memang begitu, tidak mengeluarkan suara saat menangis. Mark bisa menebak bahwa hari sudah mulai dini, salju semakin gencar turun. Seharusnya mereka berdua sudah ada di dalam rumah dengan tenang dan tidur, menunggu hari esok. Sayangnya, haluan hidup dibanting sekeras-kerasnya, dan Tuhan membawa pulang salah satu ciptaan yang berarti segalanya untuk Donghyuck.

"Sudah dini. Kemana kau akan pulang?" tanya Mark sembari mendekat ke titik dimana Donghyuck terduduk, masih memendam mukanya dalam-dalam. Ia tak segera menjawab. Mark menarik tubuh mungil itu mendekat, tak kunjung hati melihatnya harus merasakan dingin yang menusuk untuk waktu yang lebih lama lagi. Apa lagi dengan modal jaket yang membalut tubuhnya, jaketnya tipis, Mark tahu itu.

"Tidak ingin pulang," ucapnya parau. Kini ia sudah menatap rendah jalan-jalan yang sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang, mungkin jumlahnya dapat dihitung dengan dua tangan. "Kau butuh tidur, jangan bercanda," ucap Mark, nadanya rendah dan detik itu puntung rokok yang baru setengah tersulut sudah ia jatuhkan ke atas lantai semen yang dingin, hal itu langsung mematikan api kecil di ujung rokok. Lengan kekarnya spontan menarik pinggangnya yang ramping itu sekali lagi, hingga ia benar-benar duduk di atas pangkuan Mark.

Kedua lengan mungil milik Donghyuck sontak memeluk pinggang Mark.

"Aku antar pulang atau pulang bersamaku?" tanya Mark, menawarkan dua pilihan yang akan sangat sulit dijawab oleh Donghyuck saat ini. Donghyuck membisu sesaat setelah Mark selesai mengucapkan rangkaian kata tanya itu. Ia tenggelam di arus gelap iris milik Mark, terlihat rasa kecewa di sana dan beberapa rasa yang tak dapat ia mengerti sepenuhnya. Rasa takut mulai menjalar di tiap urat nadi milik Donghyuck, ketakutan untuk kehilangan satu-satunya teman yang masih perduli padanya.

"Lee Donghyuck." Kini Mark memutuskan untuk memanggilnya dengan nama lengkap. Suaranya rendah dan lelah, jelas saja, ia sudah menunggui Donghyuck di atas sini dari tiga jam yang lalu. Suara itu cukup membuat Donghyuck tersentak kaget dan hampir jatuh ke belakang, jika saja Mark tidak menahannya dengan lengan kanan. "Aku tidak suka mengulang perkataanku," ujarnya begitu saja. "Ma-af, bisakah antar aku pulang saja, h-hyung?" jawabnya terbata-bata. "Seharusnya kau memberi tahuku sedari tadi," ucapnya sembari menggeser badan Donghyuck turun dari pangkuannya.

Ia berdiri terlebih dahulu, meninggalkan Donghyuck yang masih terduduk kebingungan. Rasanya sangat mudah bagi Mark untuk mengubah tata letak Donghyuck. Apakah ia se-ringan itu? Kenyataan memang ya, Donghyuck jauh berbeda dengan pria seumurannya. Dengan badan yang mungil dan massa tubuh yang ringan. Membuatnya mudah sekali dipindahkan, digendong, bahkan disakiti. Karena Donghyuck tidak pernah melawan, meskipun ia disakiti, ditindas, dilecehkan, dan apapun itu yang membuat harga dirinya jatuh.

"Kau mau ku antar pulang atau tidak?" tanya Mark, setengah kesal. Hal itu membuyarkan Donghyuck yang masih terduduk kebingungan. Terburu-buru ia berdiri dan lari menuju pintu menuju tangga ke lantai dasar. Mengejar langkah Mark yang besar-besar, juga menahan dinginnya angin malam yang berlalu lalang dan menerpa tubuhnya. Donghyuck merapatkan jaket tipisnya, seolah-olah hidupnya sangat bergantung pada keberadaan jaket yang membalut tubuh itu.

"Kau tahu? Sekarang nol derajat dan kau hanya menggunakan jaket konyol seperti itu?" ujar Mark, sesaat setelah mereka sampai di lantai dasar gedung tua ini. Sinar rembulan masuk berdesakan dari lubang-lubang yang tercipta di dinding gedung. Lampu-lampu kuning hangat yang setengah menyala, setengah mati, mempersulit netra Donghyuck untuk fokus.

"Aku tak punya banyak baju hangat," jawab pria mungil itu, nada suaranya telah kembali, lembut yang mengalun. "Lain kali, gunakan baju yang lebih hangat," ucap Mark pelan. Ia berhenti sejenak, lalu melepaskan selapis jaketnya. Mengibaskannya di udara sekali, barangkali ada debu atau salju yang hinggap di jaket itu. Perlahan tapi pasti, Mark meletakkan jaketnya di bahu Donghyuck yang sempit.

"Terima kasih, hyung," ucap Donghyuck. Tatapannya melembut, sementara kedua tangan kurus itu semakin mengeratkan jaket Mark yang kebesaran di tubuhnya. Mark hanya mengangguk, menatap Donghyuck dalam satu tatapan yang membingungkan. Antara kecewa dan kesal yang bersatu atau perasaan hangat yang tertera di netranya. Sungguh, Donghyuck masih bertanya-tanya.

Mereka berjalan keluar gedung dalam diam. Tak ada satupun dari mereka yang melontarkan kalimat, bahkan untuk membuka mulut saja, mereka enggan. Suara mobil di seberang tak lagi terdengar. Seperti teredam jauhnya jarak dalam ruang hampa. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah sepatu mereka yang bergesekan dengan aspal yang mulai tertutup salju tipis.

Ketika Audi itu dibuka, Mark masuk terlebih dahulu. Tak menunggu atau mempersilahkan Donghyuck duduk di kursi penumpang sebelumnya. Ia baru masuk ketika Mark memberikannya tanda dengan jarinya untuk segera masuk. "Jangan bertindak seperti kau baru masuk ke dalam mobilku, Donghyuck," ucap Mark datar. Kakinya menginjak pedal gas dengan mantap.

Donghyuck menyadari bahwa tadi, ia bertindak seperti orang baru di mata Mark. Padahal ia telah mengenal Mark sedari kecil, seingatnya--sejak delapan belas tahun yang lalu. "Maaf, hyung."

Mark membawa Audi ini membelah keheningan malam. Suara mesin mobil yang terdengar halus dan tak bising. Radio mobil yang kini mengalunkan salah satu lagu milik Ed Sheeran. Tatapan Mark lurus ke depan jalan raya yang aspalnya terbias oleh lampu jalan dan cahaya putih sayu sang rembulan. Mereka berpapasan dengan satu, dua mobil selama perjalanan. Dini terbentang di depan kelopak mata mereka, pukul tiga pagi.

"Jaga dirimu dengan baik, Donghyuck," ucap Mark melembut. Entah sejak kapan, pantulan di iris mata cokelat madu miliknya melembut. Kini tatapannya begitu hangat, memberikan kenyamanan lebih di hati Donghyuck yang rapuh. Perilaku Mark itu seolah mengumpulkan pecahan hatinya yang berserakan, menyusunnya satu persatu,  lalu mendekapnya erat.

"Telepon aku jika butuh bantuan, ya?" Kalimat itu lagi, yang sanggup membuat rona merah hangat di kedua pipinya. Bibirnya menciptakan satu senyuman tulus, menggemaskan di mata semua orang yang melihatnya. "Baik, hyung. Hati-hati dan pulanglah dengan selamat," balas Donghyuck.

Mark mengulurkan tangannya dan memutuskan untuk mengacak-acak surai rambut berwarna cokelat tua milik Donghyuck. "Masuklah dan segera tidur, sudah dini."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sol y Luna ☆ markhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang