fünfzehn

6.5K 906 61
                                    

"Azel, bisakah kamu menjemputku sekarang? Bus terakhir sudah lewat dan aku tertinggal," Jaemin menelepon kekasih barunya itu di halte. Hujan turun dengan derasnya, membasahi tiap inci jalan yang tidak tertutup atap. Malam menggelap dengan lampu-lampu jalan membantu menerangi. Pukul sembilan malam dan Jaemin baru keluar dari universitasnya karena ada hal mendadak yang butuh di revisi malam ini juga.

"Sorry, babe. Aku tidak bisa, sedang ada urusan penting dengan keluarga. Kenapa tidak naik taksi saja?" Azel membalas dari saluran seberang, terdengar buru-buru. "Aku tidak yakin bisa menemukan taksi di kala hujan deras seperti ini, Azel," Jaemin menjelaskan. Netranya menebar pandangan ke sekeliling yang dihujani air langit dengan deras.

"Ck, lain kali jangan mendadak! Okay, aku jemput tapi kamu harus menunggu," Azel membalas dengan nada yang tidak ramah. "Berapa lama, Azel?" Jaemin sedikit takut dengan nada berbicara Azel tadi. "Tidak tahu, pokoknya kamu tunggu saja di halte biasa." Selesai berkata, Azel langsung menutup panggilan, tak repot-repot menunggu balasan dari Jaemin.

Hujan kian menderas, menghasilkan suara bising air yang menghujam aspal dengan cepat. Badai sepertinya akan datang sebentar lagi, pasalnya angin sudah bertiup kencang tak menentu sedari tadi. Membuat Jaemin harus merapatkan sweater krem yang ia kenakan. Menghalang dingin yang berlalu lalang.

"Azel.. Dingin," Jaemin berdesis pelan tanpa balasan. Tubuhnya lelah mengerjakan banyaknya revisi tadi, ia hanya ingin istirahat dan melepas rindu pada kekasih barunya. Jujur, Jaemin kecewa ketika Azel menutup panggilan begitu saja. Ia rindu rumah dan pelukan hangat Azel setiap malamnya.

"Hey."

Suara panggilan itu menyapanya tiba-tiba, nampak mobil hitam berhenti di depannya. Pengemudi itu menurunkan kaca mobilnya setengah, menampakkan pria berambut cokelat tua sedang menyetir. "Perlu tumpangan?" Tanyanya dengan hangat, senyum tertekuk di bibirnya. Jaemin tersenyum balik, menatap lawan bicara sembari berkata, "boleh?"

Pria dengan surai rambut cokelat tua itu mengangguk, membukakan pintu penumpang di samping kursi kemudi. Jaemin masuk dengan gugup, ini baru kali keduanya duduk di kursi penumpang mobil milik Jeno. Bau pengharum mobilnya kayu manis dan vanilla. Begitu menenangkan suasana pekat setelah Jaemin masuk.

"Baru selesai kelas?" Jeno bertanya, tetapi netranta fokus ke jalan di depan. "Iya, lebih tepatnya baru selesai revisi tugas," Jaemin menjelaskan, mencuri pandang pria di sampingnya yang sedang fokus menyetir. Jeno mengangguk-angguk, kemudian diam. Tak ada yang membuka topik pembicaraan baru.

"Aku mengantarmu pulang kemana?"
"Ah iya itu. Aku pindah dari apartemen lama, nanti aku tunjukkan jalannya, Jen." Jaemin menjelaskan, mengusak rambutnya yang sedikit basah karena air hujan. Jeno menengok ke arahnya sebentar, mengangguk dan kembali mengemudi tanpa suara. Lagu dari radio mobil mendominasi ruang, melukiskan euforia.

"Jen, kamu suka 5SOS?" Jaemin bertanya tiba-tiba ketika mendengar alunan musik khas dari groupband asal Australia tersebut. "Ya, kau juga?" Jeno membalas, senyum tersungging di bibirnya, walau sepasang netranya tak lepas dari pandangan jalan di depan. "Suka! Ya ampun, aku selalu berharap bisa menonton konser mereka! Aku ingin melihat dan mendengar Luke bernyanyi lagu lie to me."

Jeno terkekeh kecil setelah mendengar ucapan Jaemin, nadanya seperti anak kecil yang menceritakan betapa serunya permainan di karnaval. "Lie to me itu bukannya lagu untuk orang-orang yang sedang bersedih karena cinta tak berbalas ya? Memangnya cintamu tidak berbalas?" Jeno memancing Jaemin dengan mudah. "Ya, memangnya kenapa? Aku tidak boleh suka lagu itu, Jen?" Jaemin balik bertanya.

"Tidak, tidak. Tentu saja kamu boleh menyukai lagu apapun. Aku hanya bercermin," Jeno membalas sembari mendengus lirih. Jeno menepikan mobil di bahu jalan yang kosong tiba-tiba, tanpa berkata apapun. Raut mukanya berubah, kecewa melukis air muka. Jaemin masih mencoba menelaah arti dari ucapan Jeno tadi, tak juga mengeluarkan kata. Jeno menyembunyikan mukanya di stir mobil, merasa bodoh.

"Jen? You good? Aku bisa menggantikanmu menyetir jika sakit," Jaemin berkata lirih, merasa tidak enak karena sudah merepotkan. Jeno menggeleng, masih tidak mau menampakkan mukanya. "Jen? Jangan bercanda, kamu kenapa?" Jaemin akhirnya sedikit berdiri dari posisi duduknya, melepas sabuk pengaman yang terpasang sedari tadi. Ia memegang leher Jeno dengan punggung tangan, berusaha mengecek suhu tubuh pria itu.

"Aku baik-baik saja, jangan khawatir," akhirnya Jeno kembali pada posisi semula. Ia memegang tangan Jaemin yang tadi ditempelkan pada lehernya. Mereka terdiam dalam posisi canggung, Jeno masih memegang tangan Jaemin yang mematung ketika melihat manik mata Jeno. Warna manik matanya mengingatkan Jaemin akan Mark, mereka punya warna iris mata yang sama dan tak kalah indah dengan kristal. Wajar, mereka berasal dari satu klan yang sama.

"Aku suka kamu, maaf."

Jeno mengungkapkan perasaannya begitu saja, tak kuat membendung rasa sendiri dan terlalu lama. Rintik-rintik hujan yang mereda menemani, lagu lie to me dari 5SOS menari-nari di dalam mobil, mengisi kekosongan ruang terbatas. Kata suka yang disusuli maaf, kombinasi aneh yang bisa terpikirkan oleh otak Jeno pada detik itu. Rasa sukanya pada Jaemin memang tak terbantah, tetapi kata maaf karena menyukai kekasih orang lain menjadi penghalang terbesarnya.

"Buket bunga di dashboard ini buat kamu, terima ya?" Jeno berkata pelan, sembari menyerahkan buket mawar merah di dashboard mobil untuknya. "Kamu tidak perlu membalas perasaanku, tapi tolong hargai buket mawar ini. Kamu suka mawar, bukan?" Jeno berkata, manik matanya lurus menatap Jaemin yang masih membeku. Tak ada kalimat yang bisa mendeskripisikan hati Jaemin sekarang, campur aduk.

"Bulan depan aku akan pindah ke New York, jaga dirimu baik-baik dan titipkan salamku pada Azel. Ingatkan dia untuk selalu bersyukur karena telah mendapatkanmu. Terima kasih untuk semuanya, Na Jaemin." Jeno mengakhir kalimatnya dengan berat. Penutup hujan di malam hari ini.

"Jen.."
"I know that you don't, but if I ask you if you love me. I hope you lie to me."
"I love you."
"Thank you, Na."

Jeno tahu Jaemin tak mengatakan itu dengan sungguh, tak ada fakta yang bisa menunjukkan kalimat cinta yang dituturkan Jaemin. Jeno hanya tersenyum, setidaknya Jaemin masih mau berbohong soal perasaannya yang fana. Cukup dengan itu saja sudah membuat Jeno senang.

"Aku membawakanmu bunga matahari yang baru, kamu pasti senang jika melihat ini," Mark berucap di dalam kamar rawat Donghyuck. Ia mengganti bunga matahari yang sudah layu dengan yang baru dan segar. Meletakkan vas bunga itu di nakas samping ranjang. Hari kedua tanpa kesadaran Donghyuck hampir mengubah Mark setengah depresi.

Mark terus bekerja sampai kepalanya berputar, memaksakan dirinya melewati batas. Menghabiskan lebih banyak rokok, tak lagi berkomunikasi dengan orang lain. Menutup rapat-rapat dirinya dalam dimensi kaku nan monokrom. Mom dan dad bahkan tidak mengetahui berita Donghyuck dirawat, Mark tidak mau membuat orang tuanya kecewa.

Karena sesungguhnya.
Orang tua Mark sudah memberikan kepercayaan pada putra satu-satunya itu untuk menjaga Donghyuck.

Orang tua Mark sudah memberikan kepercayaan pada putra satu-satunya itu untuk menjaga Donghyuck

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Catatan Penulis
Kasihan Jeno, Mark :(

Sol y Luna ☆ markhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang