Break

46.4K 5.2K 293
                                    

Hanya karena Kris dan Gita pegangan tangan kalian jadi pada baper. Dasar kelen-kelen manusia lemah!
***
Gita POV

Kris baru melepaskan tanganku saat aku menyuarakan ingin pergi ke toilet. Tentu saja toilet hanyalah alasan agar aku bisa lepas darinya.

"Gila!" Aku menunjuk bayanganku sendiri di cermin. Untung keadaan toilet sedang sepi. Apa sih, yang ada dalam otaknya sampai berani sekali menggengam tanganku begitu erat di depan semua orang? Meski tersembunyi, bisa saja ada yang menyadari, kenapa tangan kami hanya satu yang berada di atas meja. Dia selalu membuat keadaan menjadi lebih sulit bagiku. Sikapnya tidak bisa ditebak. Sebentar marah seperti macan, sebentar aneh, sebentar mirip monyet liar!.

I hate you Kris!

Aku menatap tangan kananku yang masih merasakan hangat dan harum Kris masih melingkupi. Aku menggunakan banyak sabun dan menggosok tanganku dengan keras agar semuanya hilang. Setelah mencuci berkali-kali pun, semuanya masih terasa. Tangan itu. Kesal, membuat air mataku keluar begitu saja. Aku terus saja menangis tanpa bisa menghentikan air mata.

Setelah bisa menguasai diri sebentar, aku bisa berhenti menangis dan mencuci muka menghilangkan wajah sembab-ku dan sedikit memulas make-up agar tidak terlihat seperti habis menangis. Saat aku kembali ke meja, semua sudah berdiri, bersiap akan pulang.

"Lho, udah mau balik?" Tanyaku.

"Iya, udah jam sepuluh. Bini gue telpon terus," Devan menunjukkan hapenya yang menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit.

"Makanannya?" Tanyaku lagi karena aku belum bayar.

"Udah tenang aja, udah dibayar semua sama pak bos," Maria tersenyum dibuat-buat ke arah Kris. Pria itu menatapku, hingga membuatku jengah dan mengalihkan pandangan.

"Terima kasih," ucapku tanpa melihat wajahnya dan berjalan keluar mengikut Widya dan Maria.

"Kalian pulang bareng siapa? Gue ikut," aku bertanya pada Maria dan Widya. Tadi aku memakai taksi dan memang sudah niat meminta mereka untuk mengantarku.

"Kita tadi dijemput sama Tony dan Devan. Lo naik apa ke sini? Yuk, ikut aja," jawab Maria dan menarik ku ke mobil Tony.

"Sama gue aja, gue sendiri kok," Rey maju dan menawarkan diri untuk mengantarku.

"Oke, lah. Makasih ya, maaf negrepotin," jawabku dan tersenyum.

"Rey, Rey, Reynaldi!" Ucap Devan meniru seorang presenter yang juga komedian ketika mengucapkan nama Rey. "Modussss,"

"Motip. Modus tipis-tipis," tambah Maria yang mau tak mau membuatku tertawa.

"Udah ah," aku menengahi karena muka Rey sudah merah padam. "Yuk, Rey! Kita jalan," aku berjalan di samping Rey menuju mobilnya.

"Hayuk," jawab Rey dengan binar mata ala bocah.

"Lo ikut kita aja," suara Agung menghentikan langkahku. "Rumah kita bertiga kan searah, biar Rey langsung pulang. Kan, rumahnya beda arah sama Lo," kami bertiga, merujuk pada aku, Agung, Kris.

"Nggak apa-apa Gung, gue nggak keberatan kok," ucap Rey cepat. "Dengan senang hati malah,"

"Ingat, pacar orang," itu suara Widya.

"Nggak apa-apa Gung, gue sama Rey. Lagi pula dia nggak kerepotan. Lo lagi nggak buru-buru, kan?" Aku mengkonfirmasi pada Rey yang mengangguk setuju.

"Kita pulang bareng," kali ini suara berat Kris yang terdengar. Seketika hening, aku dan Kris saling menatap dari tempat kami masing-masing berdiri. Rasanya waktu berjalan dengan lambat. Apalagi yang dia inginkan?

Hello, Ex!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang