Together Again II

38.1K 3.7K 177
                                    

Author POV

"Bersulaanngg!" Suara dentingan dari gelas yang beradu di udara menggema seisi warung makan Sunda yang dipilih Yuda sebagai tempat terakhir melepas status karyawan di perusahaan sekarang.

"Bersulangnya pakai es teh. Sedih." Keluh Putra menatap nanar es teh miliknya.

"Harusnya ini minuman keras." Lirih Dino dengan mimik muram yang dibuat-buat.

"Nih, udah ada es batu. Keras, kan?" Tambah Rina dan terkikik geli.

"Lagian pake bugdet kantor juga, bener-bener nggak mau rugi ya, Lo, mas." Gita menggeleng tak habis pikir dengan bapak-bapak beranak tiga itu.

"Entar deh, Git," Yuda menelan es teh baru berkomentar "Lo ngerasain gimana punya anak. Beli susu, popok, baju, mainan. Belum kalo udah masuk sekolah. Berapa pun gaji Lo bakalan ngerasa nggak cukup."

Memang diantara jomblowan-jomblowati grup kaum Sudra hanya Yuda yang telah menikah.

"Masih lamaa gue ngerasain itu."

"Berapa lama lagi Git? Bukannya Lo udah mau ED* ya? Bentar lagi retur, terus dimusnahkan." Candaan Vico ditertawakan teman-temannya yang lain, termasuk para tim frontliner yang juga ikut perpisahan Yuda.

Gita tertawa mencemooh, kesal ketika diingatkan umurnya sebentar lagi akan memasuki kepala tiga, namun jodoh tak kunjung jelas juntrungannya. Dia juga pengen nikah. Tapi kalo calonnya belum ada gimana? Masak mau nikah sama suami khayalan?

Tiba-tiba saja pikirannya melayang ke satu nama pria yang tiga hari ini tidak menghubunginya sama sekali. Katanya, dia juga akan pulang hari ini. Gita juga tidak mau ambil pusing, meski pusing sebenarnya telah mengambil sebagian otaknya. Baru saja dia lupa sebentar tentang Kris. Dengan bangsatnya Vico kembali mengingatkan.

Gita menggelengkan kepala, menghilangkan sebentar saja Kris dari dalam kepalanya dan menikmati acara perpisahan Yuda. Pria gendut ini tidak akan ada lagi dalam timnya. Sang kapten yang selalu diikuti jejaknya oleh para anggota. Orang yang suka mengajak mereka untuk nakal menentang para bos. Gita dan teman-temannya akan merindukan sang Kapten.

Acara perpisahn Yudi selesai menjelang malam. Setelah mendapatkan kenang-kenangan dari bos dan rekan kerjanya, acara diakhiri dengan foto-foto.

"Git, kita detailing apa nggak usah? Capek banget sistur," Angga mengeluh sambil memukul pundaknya yang agak kaku. Cowok ini terlihat bertambah kurus. Entah beban apa yang merasukinya.

"Nggak usah lah ya, bilang aja sakit atau apa. Gue juga capek, pengen pulang dan tidur." Kalo Gita sih lebih capek pikiran daripada fisik.

"Oke, ya. Awas aja malam foto kamu muncul." Angga menunjuk Gita tepat di depan wajahnya.

"Iya, janji. Kalo gue langgar, gue siap kena konsekuensi jadi makin cantik." Gita mengerjap cepat dengan gestur genit. Anggit bergidik dan menjauh. Gita tertawa dan berpamitan duluan pulang pada beberapa orang yang masih tersisa di parkiran.

Seperti biasa jalanan di jam seperti ini akan selalu menyuguhkan pemandangan jalanan yang macet, bunyi klakson sana-sini serta beberapa anak jalanan dan pedagang asongan. Ditambah gerimis kecil, seperti menambah siksaan di hari ini. Gita hanya berharap hujan besar turun ketika dirinya tiba di rumah. Atau paling tidak mendekati rumah, lah. Sehingga dia tidak perlu kehujanan dan harus mandi lagi sampai di rumah. Jika saja ada mantel di jok motornya, Gita juga tak akan khawatir jika hujan besar turun sekarang juga. Mau beli pun, untuk apa. Toh, dia ada lima pasang mantel di rumah. Kalo beli sekali lagi, dia bisa buka usaha jual beli jas hujan online.

Mungkin Alam mulai enggan, bersahabat dengan Gita, apalagi Vety Vera. Hujan besar turun dengan deras tepat setelah lampu hijau menyala. Gita bahkan berteriak kecil dengan serbuan air hujan yang menerpa keras wajahnya karena berani menerjang. Wanita itu memutuskan menepi sebentar di sebuah halte bersama beberapa orang yang berpikiran sama dengannya. Hujan semakin deras bahkan disertai angin. Sempat berfikir meninggalkan motornya dan melanjutkan perjalanan dengan taksi online. Namun Gita tidak se-tega itu pada motor kesayangannya. Meski memiliki mobil yang lebih banyak terparkir manis di garasi rumahnya, Gita lebih memilih motor untuk transportasi sehari-hari. Lebih luwes dan fleksibel dalam menghadapi garangnya kemacetan ibu kota.

Hello, Ex!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang