The Truth

42.8K 4.2K 251
                                    

Author POV

Hampir dua minggu Kris dan Gita berteman-seperti kesepakatan mereka di UKS saat itu. Dua minggu pula Gita mengerti jika Kris memanglah cowok ketus, yang tidak banyak bicara, dan tidak banyak berinteraksi kecuali terpaksa. Baca: kerja kelompok.

Kris juga tidak menyukai manis seperti Gita. Dia lebih suka makanan asin dan gurih, tidak suka sayur namun menyukai buah. Tidak suka nonton tv dan lebih memilih membaca buku, khususnya yang berkaitan dengan ruang angkasa.

"Lo ngerti nggak?" Kris mengangkat wajahnya setelah menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi kali suka-suka bapak kaulah.

"Hah?" Gita terkesiap seperti tersadar dari hipnotis setelah mendengar suara Kris yang serak-serak kering karena kurang minum. "Hehehe," dia malah cengengesan.

Cowok itu menghela napas lelah. Merasa penjelasan lima belas menitnya sia-sia. Apa sih, yang ada di otak cewek ini, batin Kris ala-ala sinetron. Tadi Gita yang mati-matian minta dijelaskan tentang antariksa dan isinya. Sekarang, setelah dijelaskan sepertinya tidak ada yang tersangkut di otaknya.

"Jangan pernah minta gue jelasin sesuatu yang nggak bisa diterima otak Lo," sengit Kris dan kembali membaca buku tanpa mengindahkan perubahan ekspresi Gita. Ternyata sulit berteman dengan seorang Kris.

"Iya, maaf," ucap Gita pelan dan beranjak pergi tanpa berpamitan. Di tempat duduknya, Kris merutuki sikap kasarnya. Itu semua diluar keinginan Kris. Melihat Gita pergi dengan ekspresi sedih seperti tadi sungguh membuat Kris merasa begitu bersalah. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain melihat Gita hingga menghilang dari balik pintu perpustakaan.

Setelah kejadian dihari itu, Kris merasa Gita menghindar darinya. Cewek itu tidak pernah muncul lagi di perpustakaan seperti biasa. Lewat di depan kelasnya juga tidak pernah. Tanpa Kris sadari, dia mulai kesepian. Hari-hari tanpa kecerewetan seorang Gita terasa kopong, seperti tahu bulat. Sengaja dia berada di tempat-tempat yang sering dilewati Gita, berharap bisa melihat wajahnya meski hanya sebentar. Memastikan jika cewek itu baik-baik saja dan tidak terpengaruh oleh sikap brengseknya. Lagi, Kris merasa bersalah jika mengingat kembali. Dirinya bahkan sampai tidak bisa tidur karena kepikiran.

"Eh gue dengar Gita mau pindah?" Kris yang berada di toilet sekolah langsung memasang telinga saat dua orang siswa menyebutkan nama Gita.

"Pindah? Ke mana? Ah, nggak seru masa SMA gue kalo dia pindah," seru siswa yang satu dengan lemah. Gita siswi favoritnya dari awal masuk sekolah ini. Jika motivasinya untuk ke sekolah pergi, lalu bagaimana dia melanjutkan kehidupannya?

"Nggak tahu juga, gue dengar gosip aja. Udah beberapa hari ini dia nggak kelihatan, kan?" Celetuk si teman siswa yang sedang patah hati.

"Iya, gue juga udah beberapa hari ini nggak ngeliat Gita. Udah gue cari-cari ke tempat biasa dia nongkrong juga nggak ketemu. Patah hati gess kalo sampe dia beneran pindah,"

Suara-suara pubertas itu menjauh, kemudian menghilang. Kris panik untuk pertama kalinya.

"Pindah?" Gumamnya pelan. Cowok itu semakin kalut dan merasa mengambil andil dalam keputusan Gita untuk pindah sekolah. Kris berjalan mondar-mandir dalam toilet, berpikir keras langkah selanjutnya yang akan dia ambil. Dia harus menahan Gita untuk tidak pindah sekolah. Tapi, alasan apa yang akan dia gunakan?

"Ngapain gue pusing mikirin dia? Kalo mau pindah, hak dia juga. Nggak ada hubungan dengan kejadian kemarin," ujar Kris ke dirinya sendiri, tidak ambil pusing jika Gita mau pindah. Kris berjalan keluar mencoba untuk tidak berpikir. Namun senyuman Gita, tawa Gita, wajah riang Gita, hingga kesedihan Gita karena ucapannya kembali berputar dalam otaknya seperti potongan film. Gita orang pertama yang mau berteman dengannya. Teman pertamanya di sekolah ini. Jika dia pergi, maka, Kris tidak akan punya teman lagi.

Hello, Ex!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang