Bab 1 - Air

807 32 26
                                    

Tetes embun yang bergelayutan pada ujung-ujung daun Tabebuiya berkilau meski tak diguyur sinar matahari. Tabebuiya itu merekah riang, dari ranting-rantingnya mencuat gerombol kembang mekar sehingga halaman yang semula hanya bidang tanah menghitam usam dengan sebentang rumput manila yang tak terlalu tebal menjadi berwarna-warni sebab malainya berguguran.

Jingga asyik menyesap udara pagi. Mematung di jendela kamar terbuka, yang dirambati sulur-sulur Ivy berkelindan bak temali tanpa ruas-ruas bambu menopang liana. Julainya ia biarkan bergelantungan. Sedangkan di kejauhan hanya terlihat bentangan langit membiru, membuatnya menjatuhkan hati pada lingkungan barunya.

Semenjak pria itu membawanya pergi dari kotanya yang menyedihkan, dirinya seakan menemukan sesuatu yang ia cari. Tentu saja alasan terbesar dirinya pergi adalah melarikan diri dari carut-marut kehidupan yang ia jalani.

Sesekali Jingga menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

Sejuk sekali tempat ini, pikirnya. Wajahnya merona merah muda saat menenggak udara pagi yang terasa melonggarkan paru-parunya, lalu Jingga mendengar suara ketukan pintu.

"Jingga, apa kau sudah bangun?" tanya seseorang di luar kamar tempatnya berdiri. Suara seorang pria.

"Ya, sudah," jawab Jingga sembari merapatkan sweater putih yang dikenakannya.

"Apa aku boleh masuk?" pria itu bertanya lagi.

"Silakan," sahutnya singkat.

Tak lama kemudian pintu berderit terbuka. Mark, berdiri di ambang pintu mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans biru.

"Ayo sarapan dulu, kami tunggu di bawah."
Jingga tertegun.
Kami? Rupanya ada penghuni lain di rumah ini. Kemarin saat Mark membawanya ke tempat ini tak ada satupun orang terlihat selain Mark dan dirinya sendiri. Jadi dia pikir, Mark penghuni tunggal rumah ini.

Jingga segera menyusul Mark ke ruang makan dan mendapati dua orang perempuan duduk membelakangi tempatnya berdiri. Ini kali pertama Jingga bertemu dengan mereka berdua. Yang satu seumuran ibunya, sekitar 40 tahunan. Wajahnya dihiasi kerutan halus namun masih terlihat cantik dan badannya sangat terawat dengan baik, namanya Andrea.

Sedangkan yang satunya lagi kira-kira satu atau dua tahun lebih muda dari dirinya, namanya Joanna. Jingga awalnya menebak Joanna dan Mark adalah anak Andrea, sebab mereka memiliki fitur wajah yang mirip. Rupanya mereka berdua anak angkat Andrea.

Setelah mereka saling memperkenalkan diri, Mark bercerita bahwa Andrea, ibu angkatnya adalah seorang pengajar di akademi sihir.

Demi mendengar kata sihir, Jingga lantas berbicara,

"Aku bahkan belum bisa memercayai bahwa aku memiliki kekuatan sihir. Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi," pinta Jingga. Kemudian Andrea menjawabnya,

"Sebetulnya setiap orang memiliki kemampuan dasar untuk mengolah energi. Tetapi hanya orang-orang berbakat yang bisa mengeluarkan energi berupa sihir dan bakat itu diturunkan. Artinya pasti ada leluhurmu yang juga memiliki bakat serupa."

Jingga masih belum mengerti maksud jawaban Andrea, lantas bertanya kembali,

"Itu artinya aku memiliki bakat sihir sejak lahir. Tetapi kenapa baru hari ini aku diberi tahu? Maksudku, aku bahkan tak menyadari ada sesuatu yang berbeda dari diriku sebelumnya."
Kali ini Mark yang menjawabnya.

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang