Bab 4 - Lingkungan Baru

210 19 22
                                    

"Mark, jadi sekarang apa?" Jingga mendatangi Mark di teras rumahnya. Bulan tampak penuh. Purnama. Rupanya Mark tengah menikmati pemandangan langit malam hari.

"Apanya yang apa?" Mark rupanya tak memahami maksud pertanyaan Jingga.

Huh. Jingga lantas duduk di samping Mark.
"Jadi setelah ini apa yang harus aku lakukan?"

"Hmm ... Besok aku akan mengantarmu ke Sundapura dan kau akan belajar mengembangkan kekuatanmu disana," kata Mark.
Mark menatapnya dalam-dalam. Ada perasaan gugup yang menghinggapi Jingga.

Entah apa alasannya. Mungkin karena besok dia akan berada di lingkungan baru dengan orang-orang baru. Atau mungkin karena tatapan Mark yang begitu dalam. Apalagi mereka saling menatap dengan jarak yang cukup dekat.

Dan anehnya Jingga baru menyadari ketampanan Mark. Dengan alis tebal dan rapi, hidung mancung dan brewok tipis menghiasi wajahnya. Namun yang paling membuatnya terpesona adalah senyumnya yang menawan.

Sial, Jingga terjebak dengan perasaan aneh ini. Segera ia tepis pikiran konyol dari benaknya.

"Lalu kau bagaimana?" Jingga mengalihkan pandangannya ke langit.
"Aku? Aku kan petugas. Walaupun urusan kita nanti berakhir, tapi aku akan sering kesana."

"Anyway, kekuatan sihirmu seperti apa? Aku jadi ingin tahu," Jingga berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kekuatan sihirku? Aku menguasai pengendalian elemen hanya tingkat dasar tapi aku menguasai pengendalian kutuk dan penyembuh sampai tingkat tiga."
Mata Jingga berbinar, dia tampak tertarik.

"Wow, aku ingin melihatnya."

"Well, Hydrintanna."

Tiba-tiba dari telapak tangan Mark menyembur air berbentuk air mancur.

"Estrenha."
Tiba-tiba air mancur itu membeku. Menjadi es berbentuk bunga. Kemudian es itu pecah. Jingga merasa takjub.
"Nanti kamu akan diajari pengendalian elemen, kutukan, penyembuh. Ada juga sihir pengalih wujud namun tidak sembarang orang bisa mempelajarinya. Hanya yang benar-benar berbakat," terang Mark.

"Apakah setiap penyihir memiliki bakat masing-masing?" Tanya Jingga.
"Tentu saja. Setiap penyihir memiliki bakat di salah satu cabang sihir. Misalnya, aku. Bakatku adalah sihir kutukan dan penyembuh. Dan itulah yang sering dibutuhkan sebagai petugas. Karena tugasku bukan hanya menjemput anak-anak berbakat, tapi lebih daripada itu."

"Kau berbakat di dua cabang?" Jingga bertanya lagi.

"Biasanya yang memiliki bakat kutukan juga berbakat sihir penyembuh, sebagai penyeimbang tetapi tidak akan sama besar. Maksudku, meskipun berbakat di dua cabang sihir namun salah satu selalu mendominasi. Misalnya aku, bakat kutukanku lebih mendominasi daripada penyembuh."

Jingga belum puas bertanya,

"Oh iya, apakah setiap kekuatan ada mantranya? Dan apakah kita harus merapal mantra setiap kali akan mengeluarkan kekuatan sihir?"

"Ya. Setiap sihir sebetulnya memiliki mantra. Hanya saja, pengerahan kekuatan sihir tidak harus selalu merapal mantra. Yang terpenting adalah pemusatan pikiran sedangkan mantra hanya memperkuat. Apalagi bagi penyihir master. Dengan atau tanpa merapal mantra tidak ada bedanya," jawab Mark. Kemudian Mark menambahkan,

"Simpan dulu semua pertanyaanmu karena nanti kau akan mendapat penjelasan lengkapnya disana. Sekarang sudah larut malam, mari kita tidur."

"Ehm. Ya, tentu saja."

Keesokan harinya Jingga dan Mark berangkat ke Sundapura. Sebetulnya dari rumah Mark di wilayah Sundanagari ke pusat kota Sundapura tak terlalu jauh. Jadi mereka bisa berjalan kaki. Hanya saja, mereka harus mendaki gunung untuk sampai disana. Karena Kota Sundapura dipagari oleh pegunungan tinggi di sekelilingnya sehingga akses menuju kesana hanya melewati gunung.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di puncak gunung karena rumah Mark sendiri ada di lereng gunung sebelah Utara dan kota Sundapura ada di sebelah selatannya. Sebetulnya untuk menuju ke Sundapura ada empat gerbang sesuai arah mata angin, salah satunya adalah sekitar gunung Padang.

Namun tentu saja manusia biasa tidak akan pernah bisa memasukinya bahkan sekedar menyadarinya saja tidak mungkin. Seluruh area kota Sundapura yang meliputi kota Sundapura sebagai pusat kota sihir, Sundanagari dan Lamuri tidak dapat terdeteksi radar sebab telah dilindungi oleh semacam mantra kuat oleh leluhur mereka agar tempat mereka aman.

Sehingga dari ketinggian hanya akan tampak kabut yang cukup tebal di atas pegunungan.

Setelah hampir tengah hari, mereka sampai di tepi danau yang sangat luas. Danau itu merupakan pemisah Sundapura dari yang lainnya karena Sundapura terletak di pulau tengah danau dan hanya dihubungkan oleh jembatan yang sangat besar dan tinggi.

Lalu mereka berjalan di atas jembatan itu. Jingga menghitung kira-kira jalan itu lebarnya delapan meter dan panjang jembatannya sendiri sekitar satu kilometer. Dan jembatan ini berakhir di gerbang utama.

Di atas gerbang utama, Jingga melihat gambar matahari dan tulisan kuno berwarna emas yang dia tak tahu apa. Ketika dia bertanya pada Mark, rupanya itu adalah tulisan bahasa Lemuria. Yaitu peradaban tertua di bumi yang pusatnya adalah sekitar Nusantara. Sedangkan matahari adalah simbol Kota Sundapura. Kelak ketika Jingga telah mempelajari bahasa ini, tulisan tersebut dibaca:

Anjana Gaphida Hyangga
Avatara Maningga Rungga
Shaduballa Aryadumida
Zakala Manigwarha Zénna

Artinya:
Engkau gerbang Sang Pencipta
Pengendali alam keseluruhan Jagat halus dan kasar
Penyeimbang alam semesta
Waktu akan jadi anak penurut.

Kemudian gapura Sundapura terbuka,
"Samprazaan," para penjaga gerbang mengucapkan sapaan khas Sundapura. Mark menjawab sapaan para penjaga tersebut,

"Rhampiaza."

Lalu mereka mengangguk dan tersenyum.

"Asrama adalah tempatmu tinggal nanti."

"Apakah disana banyak orang?" Jingga sedikit gugup

"Tentu saja. Banyak calon penyihir baru seperti kamu. Tenanglah," Mark berusaha menenangkan Jingga.

Selama perjalanan Jingga takjub melihat pemandangan kota Sundapura. Dari gerbang utama tadi ada tiga jalan, mereka mengambil jalan paling kiri. Jingga melihat banyak bangunan seperti rumah-rumah penyihir, gilda pembuat ramuan, pertokoan, taman. Lalu jalan terbagi dua, mereka mengambil jalan yang kanan. Asrama ada di puncak pulau dekat dengan akademi dan menara Sundapura. Akhirnya mereka sampai. Ketika mereka masuk, Jingga tertegun melihat lantai dasar asrama.

"Sebentar, aku mengurus administrasi dulu," kata Mark. Jingga hanya mengangguk. Asrama ini sangat indah dengan dinding kaca mendominasi namun di dalam ruangan terasa sangat sejuk. Langit-langitnya tinggi sekali dan berbentuk bulat, sepertinya atap Asrama berbentuk kubah. Sementara tangga tersusun di kedua sisi bangunan.

"Ayo kita menuju lantai empat, ruanganmu disana," ajak Mark. Jingga menoleh pada Mark, yang memberi isyarat pada Jingga agar mengikutinya.

Sesampainya di ruangan Jingga,

"kau istirahat dulu. Nanti ada petugas asrama yang akan membantumu, tugasku sudah selesai. Aku pamit," suara Mark seperti tertahan di tenggorokan.

"Apakah nanti kita akan bertemu lagi?" Jingga berubah murung.

"Tentu saja bisa, hanya mungkin akan jarang sekali," jawab Mark.

"Mark," panggil Jingga ketika Mark sudah berbalik badan.
"Ya?"
"Terima kasih banyak,"
Mark tersenyum
"Sama-sama."
Kemudian Mark pergi.

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang