Bab 5 - Hari Pertama

166 13 0
                                    

Malam ini semua calon penyihir baru dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Sundapura untuk menjalani ritual penerimaan mereka di dunia sihir secara resmi.

Ketika pintu aula akademi dibuka semua mata terpana memandang seisi ruangan. Aula itu sangat luas. Dengan langit-langit yang tinggi berbentuk persegi panjang dan ditengahnya berupa kubah raksasa disangga pilar-pilar emas di setiap sisi ruangan, cahaya api pada obor-obor yang terpasang di sepanjang dinding aula, lalu di depannya dibuat semacam panggung berlantaikan kristal transparan yang bercahaya. Mereka berbaris.

Jumlah para calon penyihir tahun ini sebanyak 128 orang yang berusia sekitar 17 tahun. Mayoritas para calon penyihir tersebut berasal dari Asia, terutama Nusantara dan sekitarnya. Mereka mengenakan pakaian resmi Sundapura, yaitu tunik putih tanpa lengan dengan sulaman benang dan lis berwarna emas. Di bagian dada sebelah kanan terdapat simbol Sundapura, yaitu gambar matahari berwarna emas.

Sedangkan untuk bawahan, mereka mengenakan celana model pipa berikat pinggang emas dengan kepala berbentuk matahari serta sepatu boot berwarna putih dan corak emas. Jubah mereka berwarna putih yang disampirkan pada kedua bahu dengan bros matahari kecil yang juga berwarna emas.

Para guru dan kepala agung juga mengenakan pakaian serupa hanya saja lebih banyak emblem dan kantong tempat menyimpanan senjata dan tongkat sihir pada tunik yang dikenakannya.

Seperti halnya bagi sebagian besar calon penyihir lain, malam ini juga menjadi malam pertama bagi Jingga di akademi. Ketika namanya dipanggil ke depan, seketika perasaannya diliputi kegugupan yang luar biasa. Sejujurnya dia tidak bisa menjadi pusat atensi banyak orang. Namun, Kepala Agung akademi yang memahami kegugupannya menenangkan Jingga dengan memegang kedua bahunya agar dirinya bisa mengendalikan rasa gugup tersebut.

Ketika kepala agung akademi menyentuhkan tongkat sihir pada kepalanya, Jingga merasakan hawa dingin yang menyegarkan meliputi seluruh tubuhnya yang terbungkus sinar berwarna kebiruan seperti diguyur air pegunungan saat pagi hari. Setelah sinar kebiruan itu lenyap, meresap ke dalam tubuhnya akhirnya gadis itu kembali ke barisan semula. Ritual yang dilakukan cukup lama itu begitu khidmat. Mereka merasakan lautan energi dalam ruangan itu berpadu dengan energi yang mereka miliki, menciptakan harmoni dan keselarasan. Aura mereka kini menjadi seirama.

Setelah ritual penerimaan selesai, semuanya membubarkan diri secara tertib namun belum diperbolehkan keluar dari ruang aula. Maka hal ini dimanfaatkan para murid baru untuk saling berkenalan. Disaat yang lainnya sedang sibuk, Jingga hanya berdiam diri melihat keriuhannya. Dia tak terbiasa bertemu orang-orang baru sebanyak ini. Jingga juga merasa enggan untuk menjadi bagian dari mereka sebab dia takut, apa yang dia alami sebelumnya terulang kembali.

Namun beberapa remaja sepertinya tertarik untuk mengenalnya. Seperti dua anak kembar asal Venice, Evan Facinelli dan Peter Facinelli. Mereka menyapa Jingga dan mulai berbicara padanya,

“Hai, boleh aku tahu namamu? Namaku Evan dan ini adikku, Peter.” Evan mengulurkan tangannya.

“Oh, hai, namaku Jingga Sundari, tetapi kalian bisa memanggilku Jingga.” Jingga tersenyum seraya menyambut uluran tangan Evan dan Peter.
“Kamu sepertinya bukan orang Indonesia,” sahut Jingga kemudian. “Betul, kami dari Venice, Italia. Tapi ayahku dari Indonesia,” jawab Evan.

“Pantas, kalian bisa berbicara Bahasa Indonesia,” kata Jingga.

Menanggapi apa yang gadis itu katakan, Evan tersenyum.

“Kami sebetulnya tidak terlalu menguasai Bahasa, sebab walaupun ayahku dari Indonesia namun sejak lahir, kami tinggal di Venice dan berbahasa Italia. Tapi entah kenapa, semenjak ritual penerimaan tadi, aku bisa memahami perkataan orang lain dan aku juga bisa menjawabnya dalam Bahasa Indonesia.”

“Begitukah? Mungkin karena pengaruh tongkat sihir Kepala Agung,” tebak Jingga.

“Mungkin saja. Pantas saja tadi kudengar semua orang bahkan para murid baru yang berasal dari negara lain berbicara Bahasa Indonesia. Kupikir mereka memang bisa berbahasa Indonesia. Ketika aku bertanya, mereka juga keheranan sebab mereka tak pernah belajar Bahasa Indonesia sebelumnya,” jawab Peter.

“Oh iya, tadi katamu, ayah kalian orang Indonesia. Dari mana?”
“Ayah dari Jakarta,” jawab Evan. Lalu balik bertanya,
“Kenapa kamu hanya diam saja tadi? Padahal yang lain sibuk saling memperkenalkan diri?”

Jingga tak bisa menjelaskannya, dia berusaha mencari alasan lainnya.

“Aku masih belum bisa memercayai aku berada di tempat seperti ini. Aku bahkan tak pernah sekalipun membayangkan bahwa aku menjadi seorang penyihir.”
“Kami juga begitu. Baru saja beberapa hari lalu kami merayakan ulang tahun kami dengan orang tua kami, malah sekarang ada di tempat ini,” Evan menimpali.
“Lalu apakah orang tua kalian tahu kalian ada di sini?” tanya Jingga lagi.

Raut wajah Evan dan Peter tiba-tiba berubah sedih, mereka menggeleng pelan. Evan yang menjawabnya,
“mereka tidak tahu, karena kami terpisah ketika berlibur di Hawaii. Beberapa hari yang lalu Hawaii dilanda gempa dan erupsi gunung sehingga semua orang kalang kabut dan kami terpisah dengan orang tua kami. Lalu tsunami memporak porandakan semuanya. Saat itu hanya tinggal kami berdua. Tiba-tiba kami didatangi seseorang yang muncul entah dari mana dan membawa kami pergi. Akhirnya sekarang kami ada di sini.”
“Oh, maafkan aku.”
It’s okay.”

Jingga merasa iba pada dua anak kembar itu. Mereka terpisah dari kedua orangtua yang menyayangi mereka dan terpaksa ada di sini. Sedangkan Jingga, justru dia sendiri yang menginginkan untuk pergi meninggalkan rumah, dengan segala permasalahannya. Gadis itu memutuskan untuk menjauh dari orang-orang yang mengenalnya. Baginya saat ini, keputusan yang dia ambil adalah keputusan yang paling tepat. Ketika mereka sedang berbincang, seorang remaja laki-laki yang terlihat kebingungan tak sengaja menyenggol punggung Jingga. Seketika mereka mengalihkan perhatiannya pada remaja laki-laki tersebut.
“Oh, maafkan aku. Aku tak sengaja,” sahut pemuda bernama Astra Andromeda tersebut.
“Tidak apa-apa.” Jingga tersenyum lantas bertanya,

“apa yang sedang kamu cari?”
“Eu, ... tidak. Aku hanya sedang mencari seseorang. Tetapi sepertinya dia tak ada di sini.”
“Oh, begitu.”

“Boleh aku tahu namamu? Namaku Astra,”
“Namaku Jingga, dan ini temanku, Evan dan Peter.”  Jingga mengenalkan mereka berdua.
“Hai,” sapa Evan dan Peter berbarengan.
“Hai.”
“Kamu orang Indonesia ya?” tebak Jingga.

“Uhm, ya. Ayah dan ibuku memang berasal dari Indonesia. Tapi sejak kecil aku tinggal di Jerman. Namun sekarang, ...” kalimat itu terhenti di udara dan Astra tak ingin menyelesaikannya.
“Ada apa?”
“Ah, tidak, bukan apa-apa.” Astra menggelengkan kepala dan memaksakan tersenyum. Tak butuh waktu lama bagi Jingga, Astra, Evan dan Peter untuk menjadi teman akrab. Malam itu mereka saling bercerita tentang berbagai hal sebelum akhirnya kembali ke asrama ketika malam semakin larut.

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang