Bab 37 - Bahasa Alam

48 5 7
                                    

Jingga masih setengah sadar ketika hari menjelang pagi. Efek meminum cairan kuning keemasan itu sepertinya mulai memudar. Gadis itu tak beranjak dari tempat tidurnya dimana bagian kepala ranjang itu dia gunakan sebagai sandaran. Beberapa kali gadis itu menguap tanda serangan kantuk mulai mendera. Sepertinya dia harus tidur dengan resiko bangun kesiangan. Baru saja Jingga menutup mata, dirinya dikejutkan dengan getaran yang sangat kuat. Ranjangnya juga ikut bergetar sehingga Jingga merasa panik. Dia ingin segera keluar dari kamarnya dan memberitahukan teman-temannya untuk segera keluar. Sepertinya gempa ini sangat kuat. Apalagi dari kejauhan gadis itu mendengar suara gemeretak mencuit-cuit yang tak dia pahami suara apa. Pecahan kaca di mana-mana. Tetapi bangunan ini masih kuat dari goncangan sehingga yang terlihat hanya retakan-retakan halus.

Jingga terpeleset dan kepalanya terbentur ujung ranjang hingga dahinya mengucurkan darah. Jingga berhasil bangkit lalu berusaha meraih pegangan pintu berwarna perak. Tiba-tiba terdengar suara riuh redam dari arah jendela. Belum sempat dirinya berbalik,

Brakkk...

Dinding kamar Jingga jebol karena hantaman air hitam yang menyeruak hingga meluluhlantakkan seisi ruangan kamar. Jingga terbawa arus bah. Dalam kegelapan malam itu kepalanya timbul tenggelam, tangan kurusnya berusaha menggapai-gapai ke udara, barangkali ada benda yang bisa dijadikan pegangan. Dia bertanya-tanya kemana teman-temannya, kemana Abha dan keluarganya, apakah mereka selamat, dan pertanyaan lain yang memenuhi benaknya hanya agar dirinya tetap sadar.

Megap-megap Jingga hampir kehabisan napas. Anehnya dia tak bisa mengeluarkan kekuatannya meskipun berkali-kali gadis itu mencobanya. Jingga tenggelam ditelan keganasan air bah yang datang dari laut secara tiba-tiba.

Di dalam air hitam sekilas Jingga melihat seberkas cahaya berwarna putih bersinar terang. Jingga tak bisa memastikan apa yang dilihatnya, mungkin saja itu titik permukaan air dimana gadis itu bisa menghirup udara segar. Sedetik kemudian dia menyadari bahwa saat itu malam hari. Jadi seharusnya di atas sana keadaan gelap gulita.

Sekali lagi Jingga berusaha melihat ke arah benda putih tadi sekedar untuk memastikan. Benda itu sudah tak terlihat lagi. Namun samar-samar terdengar suara Abha memanggilnya.

Jingga, bangunlah!

Jingga terperanjat. Peluh membasahi dahinya. Saat ini dirinya berada di atas ranjang di kamar rumah Abha. Rupanya mimpi buruk lagi. Bagi Jingga ini kali pertama mimpi buruk sejak dirinya dan teman-temannya datang ke masa ini. Tetapi apa maksud dari mimpinya tersebut dirinya sama sekali tak memahami. Bahkan mimpi-mimpi buruk yang dia alami sebelumnya juga belum mampu dia mengerti artinya.

Rasa takut membuatnya tak ingin kembali tertidur. Dia lebih memilih bertahan sepanjang malam.

Eh, sekarang kira-kira jam berapa ya? Kok rasanya malam begitu lama? Atau mungkin aku yang tertidur dalam waktu yang cukup singkat? Katanya dalam hati. Dalam beberapa menit Jingga masih termenung di atas ranjangnya sampai kemudian gadis itu merasakan sebuah getaran yang cukup kuat.

"Oh tidak, sepertinya ini bukan mimpi!" Teriaknya dengan suara tertahan. Gadis itu memutuskan untuk berlari ke luar kamar dan menuruni tangga ke lantai bawah. Didapatnya sesosok laki-laki sedang duduk di tempat duduk yang seperti sofa namun dilengkapi dengan benda yang mencuat di belakangnya dan pada bagian dudukan lengan ada sesuatu yang menyerupai tombol besar berwarna merah. Jingga menghampiri remaja itu.

"Astra, apa yang sedang—," Jingga tak ingin menyelesaikan kalimatnya. Pemuda itu membuka matanya dan melirik gadis yang berdiri di sampingnya.

"Jingga," Astra cukup terkejut melihat kehadiran Jingga karena hari masih gelap. Tak seperti biasanya gadis itu terbangun sedini ini.

4 ELEMENTS [Diterbitkan Oleh Jejak Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang